Krisis Sosial-Ekologis dan Kapitalisme

Nov 10, 2021 | 0 comments

Written by walhijogja

Bosman Batubara dan Eka Handriana dalam sebuah artikel bertajuk “Dari Krisis Sosial-Ekologis ke Ekologi Sosial: Kasus Suburbia Semarang” (2021) yang terbit dalam jurnal Prisma, menyebutkan bahwa frasa krisis sosial-ekologis di Indonesia banyak berkembang dan digunakan oleh organisasi non-pemerintah untuk menggambarkan bagaimana persoalan sosial dan ekologis tidaklah terpisah satu sama lain, melainkan saling berpilin.

Pada dasarnya, konsep krisis sosial-ekologis merupakan bentuk gugatan terhadap cara pandang yang melihat bahwa entitas sosial (manusia) itu terpisah dengan entitas ekologi atau non-manusia (contoh: air, tanah, tumbuhan, hewan, dan lain-lain) (Bosman & Handriana, 2021). Cara pandangan demikian mengidap pemahaman bahwa apa yang disebut sebagai “alam” merupakan entitas yang berada di luar manusia—bukan bahwa manusia itu sendiri merupakan bagian di dalamnya. Pemisahan di antara keduanya mengaburkan kondisi faktual dimana persoalan sosial dan lingkungan tidak hadir dari suatu proses yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling bertalian sekaligus mempengaruhi satu sama lain.

Kait-Kelindan Persoalan Sosial dan Ekologi

Mari kita ambil dua contoh kasus untuk menggambarkan keterikatan antara entitas sosial dan ekologi. Kasus pertama ialah tenggelamnya beberapa daerah di pesisir utara Semarang, Jawa Tengah. Dalam sebuah buku berjudul Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak (2020), dijelaskan bahwa meningkatnya beban bangunan dan ekstraksi air tanah menjadi penyebab utama turunnya muka tanah di kawasan pesisir utara Semarang hingga melebihi 10 cm per-tahun. Penurunan muka tanah yang membuat dataran di kawasan pesisir utara Semarang menjadi lebih rendah ketimbang permukaan air laut berhasil menenggelamkan, bukan hanya kawasan pemukiman, melainkan juga lahan-lahan produktif yang dikelola warganya. Penurunan muka tanah di Semarang, sebagaimana disebutkan dalam buku itu, dipicu oleh meningkatnya beban bangunan seturut dengan massif-nya industrialisasi yang berlangsung di wilayah tersebut.

Kita bergeser ke provinsi D. I. Yogyakarta. Beberapa tahun terakhir, santer diberitakan bahwa banyak sumur-sumur air tanah milik warga di Sleman, Yogyakarta, dan Bantul mengalami pendangkalan—air tanah yang mengalir di bawah tiga daerah tersebut berasal dari wilayah tangkapan air lereng Gunung Merapi—yang mendorong warganya kesulitan memperoleh air bersih. Bosman Batubara (2019: 77) menjelaskan bahwa pendangkalan sumur air tanah itu tidak lain dipicu oleh masifnya ekstraksi air tanah yang dilakukan oleh industri perhotelan untuk memasok kebutuhan kamar-kamar hotel mereka. Bahkan, dengan tujuan untuk memangkas biaya operasional yang harus dikeluarkan, banyak di antara hotel berbintang lebih memilih memasang sumur bor air tanah dalam ketimbang menggunakan jasa penyedia air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).

Berbeda dengan hotel, banyak warga di tiga daerah itu mengandalkan sumur air tanah dangkal untuk memenuhi pasokan air bersih bagi keperluan rumah tangga mereka. Dengan demikian, ada dua faktor yang berkelindan dalam kasus tersebut. Di satu sisi, tingginya intensitas pemompaan air tanah oleh hotel-hotel menghambat siklus hidrologi air tanah sehingga memicu ketersediaan air tanah menjadi semakin menipis. Di sisi lain, perbedaan kemampuan dan sumber daya antara warga (sumur air tanah dangkal) dengan hotel (sumur air tanah dalam) dalam mengakses pasokan air tanah menjadikan kelompok pertama (warga) berada dalam posisi yang dilemahkan.

Kasus penurunan muka tanah yang menyebabkan tenggelamnya beberapa wilayah di bagian utara Semarang dan keringnya sumur air tanah milik warga di tiga daerah di D.I. Yogyakarta bukan peristiwa alamiah (semata-mata dipengaruhi oleh kondisi alam), melainkan dipengaruhi oleh aktivitas sosial manusia. Pada kutub yang lain, degradasi lingkungan juga secara timbal-balik memicu hadirnya persoalan sosial.

Di samping itu, persoalan ekologi yang hadir dewasa ini, menurut Murray Bookchin (dalam Batubara & Handriana, 2021: 33), tidak dapat dipisahkan dari cara pandang Kartesian yang memisahkan secara biner entitas sosial dan non-manusia. Baginya, cara pandang demikian mengidap hirarki yang meletakkan manusia sebagai pusat jejaring kehidupan di alam semesta. Pandangan hirarki ini melihat manusia memiliki kekuasaan untuk memetakan, mengontrol, dan mendominasi entitas di luar dirinya (non-manusia). Dengan kata lain, pandangan ini meletakkan manusia sebagai entitas yang dominan, dan non-manusia sebagai entitas yang subordinat.

Meskipun konsep krisis sosial-ekologis melihat bahwa kerusakan lingkungan tidak dapat dilepaskan dari aktivitas sosial di dalamnya, namun konsep ini tidak memandang bahwa semua manusia memiliki peran dan beban yang sama dalam memicu dan berhadapan dengan persoalan sosial dan lingkungan. Misalnya, keringnya sumur-sumur air tanah milik warga di Yogyakarta bukan semata-mata dipicu oleh pemanfaatan mereka untuk kebutuhan rumah tangga. Justru, faktor signifikan yang memicu keringnya sumur-sumur air dangkal milik warga disebabkan oleh menjamurnya industri perhotelan di provinsi tersebut karena meningkatnya permintaan akan pasokan air untuk keperluan kamar-kamar hotel (Batubara, 2019). Yang membedakan di antara keduanya ialah: warga memanfaatkan air tanah untuk kebutuhan rumah tangga; sementara hotel mengambil air tanah untuk diperjual-belikan melalui penyewaan kamar kepada tamu-tamu hotel mereka.

Krisis Sosial-Ekologis Sebagai Bagian Inheren dalam Tubuh Kapitalisme

Konsep krisis sosial-ekologis meletakkan kapitalisme sebagai faktor signifikan yang memicu peningkatan laju kerusakan sosial dan lingkungan (Batubara & Handriana, 2021). Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy (2014: 68), misalnya, melihat bahwa krisis sosial-ekologis hadir sebagai dampak dari ekspansi kapital. Sementara, menurut Bosman Batubara dan Eka Handriana (2021), krisis sosial-ekologis bukan merupakan “dampak”, melainkan “syarat” dari kapitalisme. Artinya, krisis itu sendiri menjadi bagian yang melekat (inheren) di dalam setiap babak perkembangan kapitalisme. Untuk mengurai pandangan tersebut, mari kita mulai dengan mendiskusikan tentang apa itu kapitalisme dan bagaimana konsep krisis sosial-ekologis memandang berlangsungnya proses produksi kapitalis.

Kapitalisme merupakan sistem produksi yang berlandaskan pada pencarian keuntungan sebesar-besarnya. Sistem produksi kapitalis, dalam pandangan Karl Marx (2004), dicirikan dari bagaimana si Kapitalis (pemilik modal/kapital) menggelontorkan sejumlah uang (kapital) untuk membeli (dalam bentuk upah) pekerja/buruh dan sarana produksi (misalnya, gedung pabrik, mesin, bahan baku/material produksi, gas dan minyak bumi, alat transportasi, dan lain-lain) untuk memproduksi komoditas (contoh: barang elektronik, pakaian, makanan, dan lain-lain) yang kemudian dijual ke pasar. Dari aktivitas penjualan itu, kapitalis memperoleh uang dengan jumlah yang lebih banyak ketimbang uang yang ia gelontorkan di awal. Uang dengan nominal yang telah bertambah ini dapat kita sebut sebagai laba/nilai lebih.

Sistem produksi kapitalis tidaklah dilakukan dalam satu kali putaran, melainkan harus berlangsung secara terus-menerus. Menurut Marx (2004), sistem produksi kapitalis bergerak di atas logika akumulasi kapital. Logika inilah yang mendorong kapitalis untuk terus menerus menyerap nilai lebih/laba dalam proses produksi. Dengan kata lain, beberapa (tidak semua) dari jumlah nilai lebih/laba yang telah diperoleh oleh si Kapitalis pada periode produksi pertama harus ia gelontorkan kembali menjadi kapital untuk memulai proses produksi pada periode berikutnya. Mengapa demikian? Sebab, apabila putaran produksi mengalami kemacetan atau bahkan mandeg, dan nilai lebih/laba tidak dapat diserap oleh si Kapitalis, maka malapetakan berupa kerugian bahkan kebangkrutan sistem produksi akan menghampirinya. Dengan demikian, akumulasi kapital menjadi ruh yang menggerakkan tubuh kapitalisme.

Lalu, dari mana nilai lebih/laba itu berasal? Banyak di antara ilmuwan sosial (terutama dari kalangan Marxis) memandang bahwa nilai lebih semata-mata berasal dari eksploitasi terhadap waktu kerja buruh. Sementara, dalam sudut pandang krisis sosial-ekologis, bukan hanya buruh yang berperan dalam penciptaan nilai lebih/laba. Dalam sudut pandang ini, proses penciptaan nilai lebih/laba dalam proses produksi kapitalis melibatkan peran entitas manusia dan non-manusia (Batubara & Handriana, 2021).

Buruh menjadi salah satu entitas sosial yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih/laba. Mengenai kasus penciptaan nilai lebih oleh buruh upahan, dapat dipahami sebagai berikut: si Kapitalis—sebagaimana dijelaskan oleh Marx (2004)—memperoleh nilai lebih/laba dengan mengeksploitasi tenaga kerja buruh dalam bentuk ketidaksetaraan antara waktu kerja yang harus buruh curahkan dengan upah yang dibayarkan oleh si Kapitalis. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dalam satu hari, seorang buruh hanya butuh bekerja sebanyak enam jam per-hari. Namun, atas dorongan untuk memperoleh nilai lebih/laba, pemilik perusahaan memaksa buruhnya untuk bekerja selama delapan jam per-hari. Artinya, ada selisih dua jam waktu kerja lebih yang harus dicurahkan oleh buruh. Selisih waktu kerja lebih inilah yang kemudian diserap menjadi nilai lebih/laba bagi perusahaan.

Seperti yang disinggung di atas bahwa sistem produksi kapitalis itu dimotori oleh hasrat untuk menumpuk kekayaan secara terus menerus, upah yang diberikan kepada buruh terus didorong pada batas minimum, sementara waktu kerjanya tetap/terus dioptimalkan. Artinya, upah itu diatur sedemikian rupa sampai batas dimana nominalnya hanya cukup bagi buruh untuk membiayai hidupnya sehari-sehari. Bila sempat menabung, mungkin hasil tabungan itu akan segera terkuras untuk kebutuhan lain, seperti membiayai sewa rumah atau membayar sekolah anaknya. Berbeda dengan si pemilik perusahaan yang memiliki uang untuk membeli mobil mewah atau pergi berlibur ke luar negeri.  

Pada kutub yang lain, dirampasnya orang dari alat produksi (lahan perkebunan, pertanian, dan lain-lain) yang ia miliki—baik yang dilakukan oleh negara atau korporasi, dalam beberapa kasus, menjadi faktor yang mendorong mereka bertransformasi menjadi buruh upahan. Perampasan lahan yang terjadi di pedesaan, misalnya, mendorong banyak orang kehilangan alat produksi yang sebelumnya telah menjadi penopang (ekonomi) bagi kehidupan mereka. Hilangnya alat produksi memaksa mereka untuk mencari sumber penghidupan yang lain. Hal itu banyak memotivasi mereka untuk bermigrasi ke pusat-pusat industri (daerah perkotaan, misalnya) dengan harapan agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi (Habibi, 2021)—meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan memperoleh pekerjaan di sejumlah sektor ekonomi formal karena ketatnya persaingan untuk memenuhi kualifikasi kerja yang terdapat dalam sektor-sektor tersebut, yang dicontohkan dengan ketimpangan latar belakang pendidikan atau keahlian yang mereka miliki. Pada titik inilah proses transformasi orang menjadi buruh-upahan berlangsung. Tidak jarang, karena ketatnya persaingan dalam memperebutkan posisi di sektor ekonomi formal di daerah perkotaan, menurut Muchtar Habibi (2021), mendorong banyak orang beralih ke sektor ekonomi informal, seperti pedangang kaki lima, pedagang asongan, buruh gendong, kuli bangunan, dan sebagainya. Dengan demikian, hilangnya lahan-lahan pertanian atau perkebunan berkonsekuensi melemahkan daya dukung yang dimiliki oleh seseorang; dari yang sebelumnya sebagai pemilik alat produksi, kemudian menjadi semata-mata bergantung pada tenaganya.

Proses penciptaan nilai lebih/laba bukan hanya berasal dari eksploitasi waktu kerja buruh. Entitas non-buruh/non-manusia juga memainkan peran dalam proses produksi kapitalis. Dengan kata lain, nilai-lebih/laba tidak semata-mata diperoleh dari eksploitasi terhadap waktu kerja lebih buruh, melainkan juga dari komponen non-manusia.

Dalam proses produksi kapitalis, misalnya, komoditas yang diproduksi tersusun dari bahan baku yang diambil dari ladang, hutan, atau perut bumi. Sementara itu, mesin-mesin, gas dan minyak bumi, bahkan lahan-lahan yang diperuntukkan untuk membangun gedung-gedung pabrik atau kawasan industri perkebunan sebagai sarana produksi kapitalis tidak lain juga merupakan entitas non-manusia. Kapitalis tidak mengeluarkan biaya untuk menciptakan mineral, batu bara, minyak bumi, air, maupun tanah. Kesemua komponen tersebut dihasilkan dari proses geologis yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Kapitalis mengambil entitas non-manusia itu dengan “murah” (Moore, 2016) untuk kemudian ia lemparkan ke dalam proses produksi, baik yang diambil secara langsung maupun melewati sejumlah tahap terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi bagian dalam industri kapitalis.

Bertolak dari paparan di atas, ketersediaan sumber-sumber yang dijadikan sebagai material produksi menjadi bagian yang menentukan jalannya proses produksi kapitalis. Melalui logika akumulasi kapital, elemen-elemen non-manusia harus terus diserap agar proses produksi dapat terus berlangsung. Artinya, pembabatan hutan untuk menyediakan lahan bagi industri perkebunan, atau pengerukan perut bumi melalui aktivitas penambangan guna memperoleh mineral, minyak bumi, atau batu bara sebagai sumber energi bagi mesin-mesin produksi maupun bahan baku untuk pembuatan komoditas, misalnya, menjadi aktivitas secara terus menerus mesti dilakukan. Dengan kata lain, eksploitasi lingkungan dalam skala yang luas menjadi syarat tak terelakkan agar nilai lebih/laba dapat terus diperoleh. Belum lagi, permintaan akan ketersediaan lahan yang diperuntukkan sebagai pabrik, gedung perkantoran, kawasan pertokoan, hotel, kawasan pemukiman elit, pusat-pusat hiburan, atau jaringan komunikasi dan transportasi menjadi aktivitas yang juga dibutuhkan untuk menunjang proses produksi kapitalis (Harvey, 2010). Meningkatnya kecepatan laju kerusakan lingkungan dalam rupa naiknya suhu bumi, penggundulan hutan, banjir, penurunan muka tanah, keringnya sumur-sumur air tanah, maupun tanah longsor menjadi jejak ekologis yang tak terpisahkan dalam perkembangan kapitalisme.

Cerita-cerita di atas mungkin terdengar mengerikan, dan itulah yang sedang berlangsung dalam jejaring kehidupan kita. Di satu sisi, dalam kapitalisme, produksi tidak dialamatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan untuk menyerap nilai lebih/laba. Dengan begitu, sistem produksi itu harus dijalankan secara terus menerus atau tiada henti! Di sisi lain, di bawah sistem produksi kapitalis, manusia dan lingkungan dilihat semata-mata sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan, bukan sebagai dua entitas yang saling terikat dan memiliki keunikannya masing-masing dalam membangun kelestarian hidup. Dengan demikian, perampasan lahan yang membuat petani kehilangan alat produksinya, pengerukkan perut bumi, pembabatan hutan untuk membuka kawasan industri, dan sebagainya, dapat dikatakan sebagai aktivitas yang mesti terus dilakukan agar proses produksi kapitalis tetap berlangsung. Oleh karena itu, krisis sosial-ekologis dalam skala yang luas menjadi bagian tak terpisahkan atau inheren dalam tubuh kapitalisme.

Daftar Pustaka

Batubara, B. (2019). Krisis, Ketidakadilan, dan Keadilan Sosial-Ekologis. Prisma, 38(3), 66–84.

Batubara, B., & Handriana, E. (2021). Dari Krisis Sosial-Ekologis ke Ekologi Sosial: Kasus Suburbia Semarang. Prisma, 40(3), 30–46.

Batubara, B., Warsilah, H., Wagner, I., Salam, S., & Semarang-Demak, K. P. (2020). Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. Bantul: Lintas Nalar.

Habibi, M. (2021). Laju Kapital dan Dinamika Kelas Ekonomi Informal Perkotaan. Prisma, 38(3), 13-29.

Harvey, D. (2010). Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.

Marx, K. (2004). Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku 1. Jakarta: Hasta Mitra.

Moore, J. W. (2016). The Rise of Cheap Nature. Dalam J. W. Moore (Ed.) Antropocene or Capitalocene?: Nature, History, and the Crisis of Capitalism. Oakland: PM Press.

Rachman, N. F., & Yanuardy, D. (2014). Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa Megaproyek MP3EI Bekerja? Dalam N. F. Rachman & D. Yanuardy (Eds.), MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Bantul: Tanah Air Beta.


Bayu Maulana