Tata Ruang, Ketimpangan Lahan, dan Urbanisasi Meningkatkan Risiko Bencana di Yogyakarta

Dec 2, 2021 | 0 comments

Written by walhijogja

Curah hujan yang tinggi dalam beberapa pekan terakhir berpotensi meningkatkan terjadinya bencana, seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. Beberapa pekan yang lalu (Kamis, 11 November 2021), banjir melanda sejumlah daerah di Kabupaten Gunung Kidul, di antaranya ialah Kelurahan Songbanyu dan Pucung di Kecamatan Girisubo, serta beberapa daerah di Kecamatan Tanjungsari dan Tepus. Sementara itu, pada waktu yang sama, terjadi tanah longsor di Kampung Terban RT O2 RW O1, Terban, Gondokusuman.

Beberapa hari sebelum bencana banjir dan tanah longsor di Yogyakarta, tepatnya 4 November 2021, tersiar kabar terjadinya banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur. Dilansir dari kompas.com (7/11/2021), setidaknya 7 orang tewas, 35 rumah mengalami kerusakan, dan ratusan orang mengungsi.

Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ‘Veteran’ Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, dalam sebuah wawancara yang terbit di TribunJogja.com (6/11/21) bertajuk “Musim Hujan di Yogyakarta, Waspadai Bencana Banjir dan Tanah Longsor Akibat Tata Ruang Amburadul, menuturkan bahwa peristiwa banjir bandang di Kota Batu, Jawa Tengah, perlu menjadi alarm bagi sejumlah daerah untuk meningkatkan kewaspadaan.

Meskipun demikian, menurut Eko, hujan bukan semata-mata faktor yang memicu hadirnya risiko bencana banjir maupun tanah longsor. Buruknya daerah bantaran sungai yang memicu penurunan kualitas ekosistem sungai untuk menyerap air hujan berpotensi besar menghadirkan bencana. Karena itu, antisipasi dalam bentuk perbaikan Daerah Aliran Sungai menjadi upaya yang mesti dilakukan guna meminimalisir risiko bencana yang hadir.

Dalam kasus di Yogyakarta, menurut Eko, bantaran sungai atau tanah wedi kengser yang dijadikan sebagai kawasan pemukiman maupun dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis menjadi faktor yang memicu penyempitan kawasan sungai. Padahal, menurutnya, bantaran sungai merupakan kawasan rawan bencana. Eko menilai, maraknya bangunan yang berdiri di bantaran sungai menjadi cerminan dari silang sengkarutnya tata ruang yang ada di provinsi ini.

Eko juga menyayangkan sikap permisif warga terhadap pendirian bangunan pemukiman di sepanjang bantaran sungai atau wedi kengser. Menurutnya, pendirian bangunan di atas kawasan rawan bencana dapat memicu risiko meningkatnya korban jiwa maupun kerusakan apabila kejadian bencana itu hadir. Karena itu, ia menghibau kepada warga untuk melakukan upaya pencegahan terhadap pendirian bangunan rumah di kawasan tersebut. Dengan demikian, “rumah di area wedi kengser jadi tidak laku apabila tidak ada pembeli atau pasarnya kan”, tutur Eko dalam wawancara dengan awak media Tribun Jogja yang dimuat dalam tulisan di atas (jogja.tribunnews.com, 6/11/2021).

Senada dengan Eko, Viky Arthiando, Koordinator Divisi Program Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yogyakarta, saat ditemui di kantornya pada Kamis, 18 November 2021, menuturkan bahwa silang sengkarutnya tata ruang di Yogyakarta makin memperparah risiko bencana. Belum terpenuhinya proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan sebagai mandat Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Yogyakarta, menjadi cerminan dari hal tersebut.

Pada Pasal 29 UU itu menyebutkan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau paling sedikit ialah 30 persen dari total wilayah kota. Total 30 persen pemenuhan RTH itu terbagi menjadi dua bentuk, yakni 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat. Artinya, dari total wilayah Kota Yogyakarta seluas 32,5 kilometer persegi, diperlukan sedikitnya 10 kilometer persegi RTH. Namun, menurut Viky, penyediaan RTH masih jauh dari angka yang ditetapkan dalam UU di atas, yakni baru terpenuhi sekitar 8,34 persen.

“UUD Tahun 2007 memandatkan RTH sebesar 30 persen; 20 persen RTH Publik, dan 10 persen RTH Privat, di perkotaan. Di Jogja itu target 20 persen baru terpenuhi 8,43%,” jelas Viky (wawancara, 18 November 2021). 

Sementara itu, Viky juga menyoroti kawasan pemukiman yang berada di bantaran sungai. Menurutnya, pendirian pemukiman di kawasan tersebut memang memicu turunnya kualitas ekosistem sungai dan meningkatkan kerentanan bencana. Namun, baginya, melepaskan faktor yang melatarbelakangi pendirian kawasan pemukiman, terutama di wilayah perkotaan di Yogyakarta, berpotensi menghadirkan pengusiran terhadap warganya.

“Kalo wedi kengser ini harus bersih dari bangunan, termasuk pemukiman, itu artinya berpotensi pada penyingkiran pemukiman,” tutur Viky.

Viky justru melihat bahwa ketimpangan penguasaan lahan di Yogyakarta, menjadi faktor yang melatarbelakangi warga mendirikan rumah-rumah di bantaran sungai. Menurutnya, ketimpangan penguasaan lahan itu dapat dicerminkan dari lebarnya jurang ketimpangan ekonomi di provinsi ini. Lahan-lahan kawasan perkotaan di Yogyakarta banyak dikuasai untuk kepentingan pembangunan hotel, mall, condotel, atau sektor bisnis properti lainnya. Penguasaan lahan oleh para pemodal besar mendorong banyak warga tidak mampu bersaing memperoleh pemukiman di tengah perkotaan, sehingga menyebabkan mereka terlempar ke kawasan bantaran sungai.

“Mereka yang sampai harus rela menempatkan diri di pemukiman, yang taruhlah rawan bencana karena di wedi kengser, itu karena dia tidak mampu bersaing di tengah perkotaan”, jelas Viky.

Karena itu, menurutnya, persoalan banjir di kota Yogya bukan semata-mata persoalan drainase, melainkan persoalan keadilan atas pemilikan lahan. “Artinya, banjir itu bukan hanya persoalan air, tapi persoalan tanah,” tutur Viky.

Di samping itu, Viky juga menyebutkan, kawasan bantaran sungai sering kali dialihfungsikan untuk pendirian hotel-hotel berbintang, yang dimiliki oleh para pemodal besar. Penertiban bangunan-bangunan tersebut, seharusnya, menjadi prioritas yang perlu dilakukan pemerintah Yogyakarta dalam upaya untuk memaksimalkan fungsi ekosistem sungai. 

“Kecuali itu adalah bangunan-bangunan yang sifatnya bisnis. Kaya misalkan, Saya sebutkan, Sleman City Hall, yang bahkan tidak ada Amdal-nya. Kedua, Hotel Tentrem yang itu juga kan bangunan yang sifatnya bisnis, privat dan dikuasi oleh orang-orang yang punya kekuatan modal yang cukup. Dan itu yang juga harusnya ditertibkan dahulu, sebelum menertibkan pemukiman warga ini,” tuturnya.

Urbanisasi dan Bencana di Yogyakarta

Silang sengkarutnya tata ruang di Yogyakarta yang memicu meningkatnya risiko bencana beririsan dengan proses urbanisasi yang berlangsung di banyak daerah di Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Viky menjelaskan, dalam rentang tahun 1980 hingga 2014, komposisi penduduk di daerah pedesaan terus mengalami penyusutan. Hal tersebut disebabkan oleh ekspansi industri yang merubah lahan-lahan pertanian, pemukiman, maupun hutan-hutan menjadi kawasan-kawasan yang bersifat privat dan dimiliki oleh pengusaha dengan modal besar.

Menurut Viky, menyusutnya daerah-daerah pedesaan menjadi cerminan dari proses urbanisasi yang berlangsung di Indonesia, tidak terkecuali di Yogyakarta. Ditetapkanya Yogyakarta sebagai satu dari 10 kawasan Bali baru menjadi cerminan dari proses urbanisasi yang berlangsung di provinsi ini. Ia melanjutkan, pembangunan bandara Yogyakarta International Airport (YIA), Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS), hotel, maupun resort guna menopang industri pariwisata, sebagai tampilan muka pembangunan di provinsi ini, melatarbelakangi hilangnya daerah pedesaan dan memicu penduduknya untuk melakukan migrasi ke daerah perkotaan dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sementara itu, penguasaan lahan di kota Yogyakarta oleh para pemodal besar membuat mereka menjadi semakin sulit untuk mengakses pemukiman di pusat-pusat kota. Kondisi demikian yang mendorong banyak orang mendirikan bangunan pemukiman di bantaran sungai.

Selain menyoroti pemicu terjadinya bencana banjir di kota Yogyakarta, Viky juga memandang bahwa proses urbanisasi memicu hadirnya bencana di daerah-daerah pedesaan di sekitarnya. Viky menjelaskan, hilangnya kawasan pedesaan yang diiringi dengan rusaknya ekosistem di dalamnya menjadi faktor lain yang memicu kerentanan bencana di daerah-daerah tersebut. Salah satunya ialah banjir yang melanda beberapa daerah di Kabupaten Gunung Kidul.

Pembangunan JJLS, industri pertambangan, maupun properti di kabupaten Gunung Kidul telah memicu rusaknya ekosistem pegunungan karts. Viky menjelaskan bahwa pegunungan karts memiliki fungsi layanya spons yang dapat menyerap aliran hujan dan mengalirkannya ke sungai-sungai bawah tanah. Rusaknya ekosistem karst selain mengancam hilangnya sumber-sumber air bersih, juga memicu tidak terserapnya aliran air hujan.

“Jadi, karst yang mestinya bisa punya fungsi seperti spons gitu ya, yang kemudian ketika hujan dia menyerap dan dialirkan ke sungai bawah tanah pada akrhinya ketika spons itu hilang maka langsung banjir aja karena daerah resapannya sudah tidak ada,” tutur Viky.

Di samping itu, menurut Viky, kondisi demikian diperparah dengan hilangnya ponor-ponor yang juga memiliki fungsi menyerap air hujan. Terendamnya rumah-rumah di sejumlah daerah di Gunung Kidul yang terjadi beberapa pekan yang lalu, berpotensi kuat dipicu oleh peristiwa tersebut. Wajar apabila aliran air hujan dengan intensitas tinggi tidak terserap ke dalam tanah melainkan menggenang di atas permukaan tanah dan merendam kawasan pertanian serta pemukiman.

Viky menjelaskan, setidaknya ada dua hal yang bekelindan dalam persoalan banjir di provinsi Yogyakarta. Pertama, menyempitnya ruang-ruang penghidupan guna menopang kebutuhan warga di daerah pedesaan memaksa mereka untuk bermigrasi ke perkotaan. Sementara itu, persaingan yang tidak seimbang di kawasan perkotaan memaksa mereka menempati wilayah-wilayah rawan bencana, seperti di bantaran sungai. Kedua, hilangnya daerah pedesaan beserta ekosistem di dalamnya memicu hilangnya kawasan-kawasan penyangga sehingga meningkatkan risiko bencana yang akan hadir.

Menurut Viky, upaya yang perlu dilakukan, pertama, ialah menertibkan tata ruang yang melayani kepentingan modal dan berperan besar menghadirkan risiko bencana. Kedua, distribusi hak atas tanah secara merata kepada warganya. Dengan demikian, Viky memandang, yang mestinya dilakukan terlebih dahulu untuk memecahkan persoalan banjir di Yogyakarta ialah menertibkan kawasan yang dimiliki oleh para pemodal besar dan wujudkan keadilan atas pemilikan tanah kepada warganya. “Tertibkan tata ruang bisnis-bisnis dari pemodal besar ini. Kedua, beri hak atas tanah yang sama terhadap warganya. Itu dulu yang harus diselesaikan kalo ngomongin banjir,” tutur Viky.


Bayu Maulana