Puluhan Tahun Tanah Kami Dikuasai PT Bumi Sari

Feb 19, 2022 | 0 comments

Written by Reza Egis

Sri Mariyati sedang berdiri jinjit di atas sebuah bangku. Kedua tangannya sedang sibuk menempelkan huruf demi huruf di sebuah tirai hitam setinggi tiga meter. Ketika selesai, rangkaian huruf yang ditempelkan Mariyati malam itu, membentuk sebuah kalimat: Memperingati 1 Tahun Pendudukan, Rukun Tani Sumberejo Pakel.

Tirai hitam tersebut terpasang di sisi selatan sebuah pondokan yang berangka bambu dan beratap asbes, tanpa dinding. Para Warga Pakel menyebut pondokan itu sebagai Posko Perjuangan.

Malam itu, Rabu 22 September 2021, ratusan orang yang tergabung dalam organisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel sedang berkumpul di Posko Perjuangan yang terletak di Dusun Taman Glugo, Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi. Sebuah tempat di mana Rukun Tani, setiap harinya, selama satu tahun belakangan, piket berjaga di lahan pendudukan secara bergantian.

Selain Mariyati, beberapa warga lainnya juga terlihat sedang menyibukkan diri di Posko Perjuangan. Ada yang memasak di dapur umum, menyiapkan sound system, merangkai sebuah gunungan, ataupun sekadar ngopi dan ngobrol santai. Dengan penuh sukacita, mereka semua mempersiapkan acara peringatan satu tahun pendudukan lahan untuk keesokan harinya.

Sejak 24 September 2020, tepat di Hari Tani Nasional, Rukun Tani telah melakukan aksi pendudukan lahan. Para warga mulai membangun pondok pertanian dan bercocok tanam di lahan mereka, yang telah dikuasai sepihak oleh PT Perkebunan Bumi Sari sejak puluhan tahun sebelumnya.

Di sela-sela pohon kopi, cengkeh, dan kelapa milik PT Bumi Sari, warga menanam tanaman-tanaman jangka pendek. Di antaranya seperti jagung, kacang, cabai, dan sayuran.

Pendudukan lahan tersebut merupakan aksi di periode ketiga selama hampir satu abad lamanya. Aksi pendudukan pertama dimulai pada 1925 dan kembali dilanjutkan pada periode ‘90an. Sampai hari ini, warga Pakel tak juga mendapatkan hak atas tanahnya.

***

Pepohonan kopi, cengkeh, dan kelapa, di perkebunan itu terlihat rapi. Ditanam secara berbaris, teratur, dan terpisah. Usianya sudah puluhan tahun dan berada di area perbukitan. Jalanan di sana pun berliku, diiringi dengan banyaknya tanjakan dan turunan.

Perkebunan itu masuk wilayah Taman Glugo. Dusun paling barat di Desa Pakel, berbatasan langsung dengan hutan kaki gunung Raung dan Djampi. Di Dusun itulah, tanah milik warga Pakel seluas 262 hektar dikuasai sepihak oleh PT Bumi Sari selama puluhan tahun.

Tanah tersebut masuk dalam wilayah hutan Sengkan-Kandang dan Kaseran yang telah dimiliki warga Pakel sejak tahun 1929, berdasarkan surat Acte Van Verwizing atau “Akta 29”. Sebuah surat izin membuka lahan yang diterbitkan oleh R.A.A.M Achmad Notohadi Suryo, Bupati Banyuwangi pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.

PT Bumi Sari mulai menguasai tanah warga Pakel sejak pertengahan ‘60an. Menurut para tetua desa, saat itu, pihak PT Bumi Sari mengajak warga Pakel untuk menanam pohon kelapa, cengkeh, kopi, dan mahoni di Taman Glugo.

“Dulu itu di pertengahan tahun 60an, yang nanamin semua kelapa, cengkeh, sama kopi di wilayah Taman Glugo ini, ya, warga Pakel, termasuk kedua orang tua saya,” kata Wagiman yang usianya kini sudah menginjak 70-an.

Ia menuturkan, pada awalnya, PT Bumi Sari berjanji, nanti hasilnya bakal dibagi dengan warga. Namun nyatanya, ketika pohon-pohon sudah besar, warga tidak pernah mendapatkan bagi hasilnya. Dalam kata lain, warga Pakel hanya dijadikan buruh perkebunan.

Berdasarkan laporan yang ditulis pada 17 September 1977 oleh Mr. Tjan Kwan Gie, pendamping hukum warga Pakel pada waktu itu, PT Bumi Sari semula bernama Perkebunan Pagoda. Sejak zaman kolonial Belanda, lokasi perkebunan tersebut memang terletak di Kecamatan Songgon. Namun, setelah berganti nama menjadi PT Bumi Sari pada ‘60an, mereka mulai mengekspansi wilayah Dusun Taman Glugo, Desa Pakel.

Jika dilihat dari seluruh sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Bumi Sari, tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa Desa Pakel termasuk ke dalam wilayah perkebunan.

HGU pertama baru terbit pada 1985 dengan Nomor SK.35/HGU/DA/85. Dalam HGU yang diterbitkan oleh Dirjen Agraria pada 18 September 1985 tersebut, hanya menyebutkan Desa Songgon dan Kluncing.

Sebelum habis pada 2009, PT Bumi Sari telah memperpanjang masa berlaku HGU tersebut pada 15 Oktober 2004, untuk jangka waktu 25 tahun mendatang. Namun, hak wilayah Bumi Sari, berdasarkan sertifikat yang bernomor 05/Kons/KWBPN/HGU/JATIM/2004 tersebut, tidak berubah. Masih tetap, hanya mencakup Songgon (9.995.500 m2) dan Kluncing (1.902.600 m2).

Akan tetapi, dalam praktiknya di lapangan, pohon-pohon kelapa, mahoni, cengkeh, dan kopi milik Bumi Sari tumbuh bebas di wilayah Dusun Taman Glugo hingga hari ini. Pos Sekuriti beserta plang penutup jalan milik PT Bumi Sari juga dibangun di atas wilayah milik Warga Pakel, membuat akses jalan warga sehari-hari terhambat.

Kamis pagi, 7 Oktober 2021, Ekspresi mendatangi kantor PT Bumi Sari yang terletak di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, untuk menemui Sudjarwo Adji, Administrator (Manajer) Perkebunan. Dengan memotong jalan melewati area perkebunan menggunakan sepeda motor, waktu tempuh dari Desa Pakel menuju ke sana hanya sekitar seperempat jam.

Pagi itu Sudjarwo sedang membaca-baca dokumen perkebunan di mejanya sambil menghisap sebatang rokok. Penampilannya saat itu cukup perlente. Ia mengenakan topi bermerek Converse, baju Polo, sepatu Reebok, celana jin berwarna coklat polos.

Lima belas menit kemudian ia baru bisa beranjak dari mejanya dan menghampiri kami.

Sebundel dokumen yang sebelumnya ia baca, diperlihatkan kepada kami. Ia melarang kami untuk memfoto dokumen-dokumen yang berisi HGU perkebunan tersebut. Di situ juga ada tiga buah dokumen HGU terbaru yang terbit pada 2019. Ketiga HGU itu bernomor, HGU/295, 296, dan 297.

Meskipun begitu, di dalamnya tetap tidak ada keterangan bahwa PT Bumi Sari berhak menguasai wilayah Desa Pakel. Hanya ada Desa Bayu, Songgon, dan Kluncing, dengan total luas tetap.

Sudjarwo mengklaim, HGU tahun 1985 dan 2004 tidak menyebutkan Desa Pakel karena sebelum tahun 2015, Dusun Taman Glugo masih termasuk wilayah administrasi Desa Songgon. Menurutnya, Taman Glugo baru masuk wilayah administrasi Desa Pakel setelah Surat Keputusan Bupati Banyuwangi bernomor 188/402/KEP/429.011/2015 Tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa Pakel terbit.

“Dulu itu, Dusun Taman Glugo belum masuk Pakel. Masih masuk Songgon. Baru masuk Pakel setelah ada peta bupati tahun 2015,” dalih Sudjarwo.

Keterangan Sudjarwo tersebut dibantah oleh Mulyadi, Kepala Desa Pakel yang sudah menjabat sejak tahun 2013 dan kini tengah memasuki di periode keduanya.

“Dulu waktu saya awal-awal jadi lurah, warga Taman Glugo mengurus surat-surat, ya, ke saya. Bahkan sejak saya kecil, Taman Glugo itu masuknya Pakel,” bantah Mulyadi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Untung, Kamituwo (Kepala Dusun) Taman Glugo. “Jangankan sejak saya jadi Kamituwo. Sejak saya kecil, Dusun Taman Glugo ya di Pakel,” kata Untung membela pernyataan Mulyadi.

Ekspresi menemukan bukti yang selaras dengan apa yg dikatakan Mulyadi. Di dalam KTP milik Sadaman, tahun 1995, menyebutkan bahwa Taman Glugo termasuk dalam wilayah administrasi Desa Pakel.

Sementara itu, HGU terbaru yang terbit pada 2019 lalu juga tidak mencantumkan Desa Pakel. Mengenai hal itu, Sudjarwo berdalih bahwa ada sebuah peraturan–ia mengaku lupa peraturan detailnya–yang mengatur bahwa HGU tidak perlu bertuliskan keterangan desa.

Pernyataan Sudjarwo tersebut diamini oleh Mujiono, Kepala Seksi Sengketa BPN Banyuwangi. Namun, sama halnya dengan Sudjarwo, Mujiono juga lupa peraturan apa yang menurutnya menerangkan bahwa izin HGU kini tidak perlu bertuliskan keterangan desa.

“Pokoknya ada itu peraturan, tapi saya lupa peraturannya yang mana. Pokoknya ada peraturan yang menerangkan kalau HGU sekarang tidak perlu menerangkan keterangan [wilayah] Desa, cukup kabupatennya saja,” kata Mujiono. Padahal jika dilihat di HGU Bumi Sari 2019, tetap ada keterangan batas wilayah desa, yaitu Songgon, Bayu, dan Kluncing.

Keterangan Sudjarwo dan Mujiono di atas tidak sesuai dengan Peraturan Kementrian Agraria Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha. Dalam regulasi tersebut menjelaskan bahwa setiap permohonan izin HGU, harus jelas menerangkan cakupan batas wilayah, baik desa ataupun kelurahan.

Merujuk sumber yang sama, dalam penerbitan HGU, Kepala Desa atau Lurah dan tokoh masyarakat sekitar juga berhak terlibat di keseluruhan proses pemberian izinnya. Dari pemeriksaan, pengukuran, sosialisasi, sampai penerbitan izin HGU.

Akan tetapi, Mulyadi mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut. Bahkan, ia belum pernah menyentuh apalagi membaca isi dari HGU Bumi Sari terbaru yang diterbitkan pada 2019.

“Tidak pernah saya lihat itu HGU tahun 2019. Belum pernah ada di Kantor Desa,” terang Mulyadi.

Sementara itu, sebelum HGU terbaru milik Bumi Sari terbit, BPN Banyuwangi mengirimkan surat klarifikasi bernomor 280/600/1.35.10/II/2018 kepada warga Pakel. Surat tersebut menjelaskan bahwa HGU Bumi Sari tidak terletak di Desa Pakel.

***

Sore itu, 16 Maret 2021, azan magrib sedang berkumandang di masjid-masjid Desa Pakel ketika dua orang polisi dari Polres Banyuwangi datang ke rumah Muhadin yang berada di Dusun Sadang. Kedua polisi itu disambut baik oleh istrinya dengan membuatkan mereka kopi.

“Bapak masih di kandang, sedang memberi makan ternak,” jawab istri Muhadin ketika ditanya oleh salah satu polisi tentang keberadaan suaminya.

Sehabis dari kandang, Muhadin mandi dan bersalin pakaian. Lalu, ia duduk bersama kedua polisi tersebut.

“Ada keperluan apa Bapak-bapak polisi ini ke rumah saya?” tanya Muhadin.

Salah satu polisi mengeluarkan berlembar-lembar dokumen dari tasnya. Ada dua belas dokumen yang ditujukan kepada Muhadin untuk ditandatangani. Lampu rumah Muhadin reman-remang. Ditambah lagi, matanya rabun, susah melihat ketika malam tiba. Ia sama sekali tidak bisa membaca semua dokumen tersebut.

“Coba bapak bacakan dulu seluruh dokumen ini isinya apa. Mata saya sulit membaca tulisan kalau malam. Apalagi tulisannya kecil-kecil seperti ini,” pinta Muhadin kepada para polisi tersebut.

“Ini dokumen biasa, Pak. Tidak perlu dibaca. Bapak cukup tanda tangan saja,” jawab salah polisi dengan santai.

Muhadin mulanya menolak untuk menandatanganinya. Namun kemudian ia dipaksa dan diancam, bila tidak membubuhkan tandatangan, masalah yang dialaminya–pemanggilan Muhadin ke Polres Banyuwangi yang pertama kali pada November tahun sebelumnya–akan semakin runyam. Muhadin pun ketakutan. Akhirnya, dengan terpaksa, ia menandatangani semua dokumen tersebut.

Tak lama kemudian, istri Muhadin datang membawa hidangan makan malam. Seusai makan malam bersama, sebelum beranjak pulang, kedua polisi itu tiba-tiba mengutarakan keinginannya membeli salah satu parang milik Muhadin.

“Pak Muhadin, kami ingin membeli parang Bapak. Yang paling jelek saja tidak papa. Kami beli 200 ribu,” pinta polisi tersebut.

Muhadin bingung, kenapa mereka ingin membeli parang yang sudah berkarat dengan harga 200 ribu. Padahal harga belinya cuma sekitar 60 ribuan. Tanpa pertimbangan lain, ia pun setuju parangnya dibeli oleh kedua polisi tersebut. Toh, dari segi harga, terbilang untung banyak, pikirnya.

“Tapi, jangan bilang siapa-siapa ya, Pak, kalau kami membeli parang sampeyan,” kata salah satu polisi sembari memberi uang 200 ribu dan menerima parang yang telah berkarat dari Muhadin tersebut. Muhadin pun hanya mengangguk.

Tiga bulan kemudian, sepucuk surat dari Polres Banyuwangi tiba di rumah Muhadin. Isinya berupa pemanggilan Muhadin untuk datang ke Polres Banyuwangi pada 10 Juni 2021, dengan statusnya naik sebagai tersangka. Yang mengejutkan adalah, barang buktinya sebuah parang yang ia jual kepada dua polisi yang dulu bertamu ke rumahnya.

Tujuh bulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Muhadin dan belasan warga Pakel lainnya dipanggil untuk kali pertama oleh Polres Banyuwangi atas laporan dari PT Bumi Sari, dengan tuduhan penyerobotan lahan. Mereka pun mendatangi Polres Banyuwangi pada 20 November 2020. Waktu itu, status Muhadin masih sebagai saksi.

Selama satu tahun pendudukan, warga Pakel memang kerap dikriminalisasi seperti kasus Muhadin. Terhitung hingga hari ini, jumlah warga yang dilaporkan oleh PT Bumi Sari, sudah mencapai 13 orang. Hampir di setiap minggu, selama setahun pendudukan, selalu ada setidaknya satu orang yang dipanggil oleh Polres Banyuwangi.

Namun, nyatanya hal itu tidak mampu menyurutkan semangat warga Pakel untuk terus menduduki lahan. Muhadin misalnya, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, ia tetap bertani setiap hari di lahan pendudukan.

“Ya saya tidak pernah takut. Silahkan kalau mau dipenjara. Ini lahan kami kok. Saya lebih baik dipenjara, daripada anak istri saya kelaparan. Lebih baik mati berjuang, daripada harus jadi buruh perkebunan,” tegas Muhadin.

***

Ketika Busadin sedang merumput di bawah pepohonan kelapa milik PT Bumi Sari pada suatu siang di tahun 2013, ia melihat tiga buah kelapa tengah hanyut di sebuah sungai kecil. Ia pun memungut kelapa-kelapa tersebut. Dua kelapa sudah busuk, sementara yang satu masih bagus.

Sekitar pukul 12 siang, karung Busadin sudah penuh berisi rumput. Ia lalu segera pergi ke kandang sapi milik tetangganya yang terletak di Dusun Taman Glugo. Karung itu ia panggul di bahu kanannya, sementara tiga buah kelapa ia jinjing dengan tangan kirinya.

Namun, pekerjaannya di hari itu belum selesai. Masih ada hal lain yang harus dikerjakan oleh Busadin. Tak berselang lama setelah mencari rumput, ia pun beranjak ke sawah milik tetangga lainnya. Selain buruh peternakan, Ia juga merupakan buruh tani.

Di tengah kesibukannya menggarap sawah, tiba-tiba seorang sekuriti datang menghampiri. Lantas, sekuriti tersebut memerintahkan Busadin untuk segera pulang ke rumahnya. Ia pun menuruti kehendak utusan PT Bumi Sari tersebut.

Sesampainya di rumah, ternyata ada dua orang sekuriti lain yang sudah menunggu. Sementara, waktu itu, tidak ada siapapun di rumah, kecuali Busadin seorang. Anak tertuanya sedang bekerja di luar Banyuwangi, dua anak terkecilnya sedang sekolah. Sementara istrinya sedang merantau ke Malaysia, bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Tiga sekuriti tersebut menuduh Busadin telah mencuri kelapa milik PT Bumi Sari. Mereka memaksa Busadin untuk ikut ke Polsek Songgon.

“Ayo sekarang sampeyan ikut kami ke Polsek Songgon terlebih dahulu. Nanti jelaskan di sana,” paksa para sekuriti. Busadin pun tidak menolak, tidak juga melawan. Lantas, ia pun ikut dengan mereka.

Pria yang waktu itu berusia empat puluhan tersebut divonis oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan tuduhan telah melakukan pencurian di wilayah PT Bumi Sari. Busadin pun dipenjarakan selama empat bulan.

Pada hari penangkapan Busadin, Wagiman sedang merantau bekerja di luar kota. Ia merupakan tetangga sebelah rumah Busadin. Seandainya saja saat itu ia berada di rumah, Busadin tidak akan ditangkap. Tidak ada sekuriti yang berani dengannya.

“Kalau saja saya sedang di Pakel waktu itu, Pak Busadin tidak akan dibawa oleh sekuriti Bumi Sari. Mana berani mereka itu. Mereka baru anak kemarin sore,” sesal Wagiman.

Bisa dibilang, Wagiman adalah senior dari sekuriti-sekuriti yang menangkap Busadin. Tiga puluh tahun lebih Wagiman menjadi sekuriti PT Bumi sari. Ketika Busadin ditangkap, Wagiman sudah berhenti menjadi sekuriti. Ia menjadi sekuriti sejak pertengahan tahun ‘60-an sampai ‘90-an akhir.

Pada titimangsa Wagiman menjadi sekuriti, kasus penangkapan seperti yang dialami Busadin juga kerap menimpa warga Pakel lain. Itu semua karena memang ada perintah dari para petinggi PT Bumi Sari. Biasanya, sekuriti-sekuriti yang berhasil menangkap para pencuri itu akan diberi bonus upah oleh atasan mereka.

Suatu hari di pertengahan ‘90-an, Wagiman pernah memergoki seorang warga Pakel tengah mencuri cengkeh milik PT Bumi Sari. Namun, ia memilih untuk tidak mencekal si pencuri sebab ia tahu pencurian itu dilakukan karena terpaksa, terdesak kebutuhan sehari-hari.

“Sampeyan kenapa mencuri cengkeh?” tanya Wagiman kepada pencuri tersebut.

“Saya ini terus terang, minta pekerjaan tidak dikasih. Jadi anak saya itu tiga, kalau mati kelaparan bagaimana? Ya buat makan, alangkah baiknya saya curi,” jawab pencuri tersebut.

***

Sekitar satu jam sebelum tengah malam, persiapan warga untuk acara peringatan satu tahun pendudukan lahan telah rampung. Sebagian besar warga pulang ke rumah dan beristirahat, sedangkan sisanya bertugas piket di Posko Perjuangan.

Ketika sampai di rumah, Mariyati tidak langsung beristirahat. Ia pergi ke dapur, menyiapkan oven, dan mengambil peralatan untuk membuat kue tar.

Hari sudah hampir pagi, Mariyati terlihat kelelahan. Namun, ia belum juga rampung membuat kue, sementara katup matanya sudah berat. Sambil menguap berkali-kali, ia terus menghias kue tarnya. Kue tersebut berwarna hijau, seperti bendera Rukun Tani. Di tengah-tengahnya, terdapat gambar empat orang petani lengkap dengan gambar padi dan buah-buahan. Di bawah gambar tersebut, ia sisipkan pula tulisan: Rukun Tani Sumberejo Pakel.

Kue yang dibuat sampai begadang itu, Mariyati dedikasikan untuk seluruh warga Rukun Tani dan dirinya sendiri, yang tetap semangat berjuang selama satu tahun pendudukan lahan.

Gak papalah sampai capek-capek begini, yang penting puas. Apresiasi buat warga sama diri sendiri. Setahun sekali ini,“ kata Mariyati sambil menghias kuenya.

Rencananya kue itu akan dimakan bersama warga lainnya di acara esok hari. Disematkan lilin di atasnya, lalu ditiup bersama-sama. “Tapi kalau yang lain pada engga mau, ya nanti kuenya kita makan aja,” celoteh Mariyati, sambil tertawa tipis.

Keesokan harinya, Kamis 23 September 2021, Mariyati sudah ikut bersama ratusan warga lainnya untuk berkumpul di Dusun Durenan. Pukul sembilan pagi, sebuah gunungan setinggi hampir dua meter, telah siap diarak menggunakan mobil pikap. Gunungan itu berisi hasil tani organisasi warga Pakel selama satu tahun pendudukan lahan. Ada jagung, singkong, cabai, terong, kacang, dan lainnya.

Ketika arak-arakan berjalan, Herman duduk di atas bak pikap, sambil memegangi gunungan yang ada di sampingnya. Dengan sebuah mikrofon, sepanjang arak-arakan dari Dusun Durenan menuju Posko Perjuangan di Dusun Taman Glugo, Herman terus bersolawat. Sesekali ia sambil berorasi dan mengajak warga Pakel lainnya untuk ikut memeriahkan acara satu tahun pendudukan.

“Ayo Bapak-Bapak dan Ibu-ibu, mari kita rayakan satu tahun pendudukan ini. Sebagai suatu wujud rasa syukur kepada Allah SWT yang telah merestui perjuangan kita. Ayo Bapak-Bapak dan Ibu-ibu, mari kita rebut kembali tanah kita yang telah diambil oleh Bumi Sari,” teriak Herman di sepanjang arak-arakan, yang kemudian disambut meriah para warga lain yang mengikuti di belakang pikap.

Di Posko Perjuangan, ratusan warga lainnya sudah menunggu arak-arakan tersebut. Saat rombongan sudah tampak dari kejauhan, mereka menyambut dengan tepuk tangan meriah. Suasana pun penuh suka cita.

Setelah itu, semua warga berkumpul di Posko Perjuangan dan sekitarnya. Kegiatan selanjutnya adalah istighosah. Di samping itu, juga ada acara sambutan dari ketua panitia acara, kepala desa, ketua Rukun Tani, perwakilan dari kuasa hukum Rukun Tani, serta ceramah. Baru kemudian pemotongan tumpeng sebagai puncak prosesi pun dilakukan. Rangkaian acara peringatan pun ditutup dengan santunan anak yatim warga Desa Pakel.


Tulisan dan ilustasi ini sebelumnya terbit di laman ekspresionline.com. Lihat link: Puluhan Tahun Tanah Kami Dikuasai PT Bumi Sari | Ekspresionline.com.

Reza Egis