Anton Sanjoyo Menilai Protes Soal Tuan Rumah Babak 4 Kualifikasi Piala Dunia Percuma, Ini Alasannya!

Prolog Kontroversi Tuan Rumah Babak 4 Kualifikasi Piala Dunia
Proses penentuan tuan rumah babak keempat Kualifikasi Piala Dunia zona Asia kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta sepak bola. Dalam babak yang menentukan langkah menuju panggung global ini, polemik pun tak bisa dihindari, khususnya terkait penunjukan venue yang dinilai oleh sejumlah pihak tidak adil. Namun, di tengah derasnya arus kritik dan protes dari berbagai kalangan, muncul suara berbeda dari pengamat sepak bola senior Tanah Air, Anton Sanjoyo.

Jurnalis sekaligus kolumnis olahraga tersebut menilai bahwa segala bentuk protes yang diajukan terkait penunjukan tuan rumah babak keempat Kualifikasi Piala Dunia sebenarnya tak banyak gunanya. Ia menyebut bahwa proses di balik penunjukan tersebut adalah hasil dari mekanisme dan dinamika yang sudah berlangsung lama, dan mustahil untuk diubah hanya dengan tekanan media atau opini publik.
Babak 4 Kualifikasi Piala Dunia: Format Baru, Kontroversi Baru
Format Baru AFC untuk Zona Asia
Mulai edisi Kualifikasi Piala Dunia 2026, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) menetapkan format baru yang membagi 18 tim ke dalam tiga grup di babak keempat. Masing-masing grup terdiri dari enam tim dan akan bertanding dalam sistem kandang dan tandang. Dua tim teratas dari masing-masing grup akan langsung lolos ke Piala Dunia 2026 yang digelar di Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada.
Namun, polemik mulai mencuat ketika AFC mengumumkan beberapa laga penting akan digelar di venue tertentu yang dianggap menguntungkan satu pihak. Beberapa negara pun memprotes kebijakan tersebut, termasuk Indonesia yang merasa dirugikan karena pertandingan-pertandingan krusial mereka tidak digelar di kandang sendiri.
Negara Tuan Rumah yang Dianggap Kontroversial
Negara-negara yang ditunjuk sebagai tuan rumah untuk laga-laga penting babak keempat ini di antaranya adalah Jepang, Arab Saudi, dan Korea Selatan. Ketiganya adalah kekuatan tradisional di kawasan Asia dan memiliki infrastruktur sepak bola kelas dunia. Namun, dari sudut pandang lawan-lawan mereka, penunjukan ini menimbulkan kecurigaan bahwa AFC berpihak dan tidak memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua kontestan.
Bahkan beberapa federasi sepak bola mengajukan banding atau surat keberatan resmi ke AFC, menyuarakan ketidakpuasan mereka atas keputusan tersebut. Sayangnya, seperti yang dikatakan Anton Sanjoyo, semua itu dianggap tidak akan membawa perubahan signifikan.
Anton Sanjoyo: Protes Itu Percuma
Argumen Dasar: Struktur AFC dan Kepentingan Politik
Menurut Anton Sanjoyo, protes terhadap penunjukan tuan rumah dalam babak keempat Kualifikasi Piala Dunia tidak akan menghasilkan perubahan nyata karena sistem pengambilan keputusan di AFC sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik dan lobi internal. Negara-negara dengan pengaruh kuat di konfederasi seperti Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi memiliki posisi strategis yang tak tergoyahkan dalam pengambilan keputusan penting.

“Sudah sejak lama AFC dikendalikan oleh negara-negara yang memiliki kekuatan finansial dan politik. Dalam kondisi seperti itu, protes hanya akan menjadi suara yang hilang di tengah gegap gempita kekuasaan,” kata Anton Sanjoyo dalam wawancara khusus dengan media nasional.
Anton menegaskan bahwa ketimbang terus memprotes, negara-negara yang merasa dirugikan sebaiknya fokus pada persiapan tim, membangun skuad yang kompetitif, dan memastikan performa terbaik di lapangan.
Perbandingan dengan Kasus Sebelumnya
Anton juga menyebut bahwa ini bukan kali pertama terjadi ketidakadilan dalam penunjukan tuan rumah di ajang internasional. Ia mengutip beberapa contoh, termasuk keputusan kontroversial FIFA dalam menentukan tuan rumah Piala Dunia U-20, yang awalnya diberikan kepada Indonesia namun kemudian dicabut.
“Pengalaman dari Piala Dunia U-20 seharusnya sudah cukup memberikan pelajaran. Sepak bola internasional tidak semata-mata soal prestasi, tapi juga soal diplomasi, politik, dan kekuatan lobi,” tambah Anton.
Fokus Seharusnya Berada di Lapangan
Pentingnya Mentalitas Tim Nasional
Alih-alih sibuk meributkan soal venue, Anton menyarankan agar federasi sepak bola Indonesia (PSSI) dan pelatih tim nasional lebih fokus pada membangun mentalitas juara. Babak keempat Kualifikasi Piala Dunia akan menjadi ajang ujian sejati bagi skuad Garuda, terutama dalam menghadapi tim-tim papan atas Asia.
Anton menilai bahwa mentalitas adalah aspek yang sering kali luput dari perhatian. “Bermain di kandang atau tandang memang berpengaruh, tapi tidak akan terlalu signifikan jika tim sudah punya determinasi dan kekompakan yang solid,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bagaimana beberapa negara kecil mampu tampil mengejutkan dalam laga tandang berkat mentalitas kuat dan strategi bermain yang matang.
Kesiapan Fisik dan Taktik Lebih Penting
Selain mentalitas, kesiapan fisik dan taktik juga menjadi kunci utama dalam menghadapi babak keempat. Anton menyarankan agar pelatih kepala Timnas Indonesia benar-benar menyesuaikan strategi dengan karakter lawan, serta memaksimalkan waktu pemusatan latihan untuk membangun chemistry antarpemain.
PSSI, menurutnya, harus memastikan bahwa semua pemain utama bisa dilepas klub tepat waktu dan dalam kondisi fit. Apalagi sebagian pemain Garuda kini bermain di luar negeri yang jadwal kompetisinya tak selalu sinkron dengan agenda FIFA.
Kritik terhadap AFC: Masihkah Fair Play Ditegakkan?
Ketimpangan Infrastruktur dan Komersialisasi
Kritik terhadap AFC tidak hanya datang dari soal venue, tapi juga dari segi ketimpangan infrastruktur antarnegara Asia. Negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan jelas memiliki stadion, fasilitas latihan, dan sistem pendukung yang jauh di atas rata-rata. Dalam sistem yang “kompetitif”, tentu hal ini bisa menjadi bentuk ketidakadilan terselubung.
AFC juga dianggap terlalu fokus pada komersialisasi dan sponsor besar yang cenderung memihak negara-negara kaya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah nilai-nilai fair play masih dipegang teguh oleh konfederasi tersebut.
Transparansi yang Diragukan
Satu lagi poin yang menjadi sorotan adalah kurangnya transparansi dalam proses penunjukan tuan rumah. Tidak ada publikasi yang jelas mengenai indikator apa yang digunakan AFC untuk memilih venue. Proses yang tertutup ini menimbulkan kecurigaan dan membuka ruang spekulasi yang tidak sehat.
Anton Sanjoyo sendiri mengakui bahwa ini adalah persoalan klasik dalam organisasi-organisasi sepak bola regional dan global. Selama tidak ada reformasi besar-besaran dalam tubuh AFC, maka keputusan-keputusan sepihak seperti ini kemungkinan besar akan terus terjadi.
Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Membangun Kekuatan dari Dalam
Meski protes tidak efektif, bukan berarti Indonesia harus pasrah. Anton menyarankan agar PSSI dan stakeholder sepak bola nasional fokus membangun kekuatan dari dalam. Ini bisa dimulai dari pembenahan kompetisi domestik, peningkatan kualitas pelatih lokal, serta perbaikan akademi usia muda.
Dengan meningkatkan kualitas secara menyeluruh, Indonesia tidak hanya akan siap bertanding di level Asia, tapi juga bisa menjadi penantang serius di kancah dunia.
Diplomasi Sepak Bola: Jalan Panjang Menuju Pengaruh
Di sisi lain, Indonesia juga harus mulai aktif dalam diplomasi sepak bola. Mengisi posisi strategis di AFC atau komite-komite penting bisa menjadi langkah jangka panjang untuk memiliki suara dalam pengambilan keputusan.
“Negara seperti Vietnam mulai menempatkan orang-orang mereka di AFC. Ini penting, karena sepak bola bukan cuma soal permainan, tapi juga politik olahraga. Jika kita ingin diperhitungkan, kita juga harus aktif di luar lapangan,” jelas Anton.
Kesimpulan: Belajar Menjadi Lebih Tangguh
Protes Tak Mengubah Apapun, Tapi Persiapan Bisa Menentukan Segalanya
Pernyataan Anton Sanjoyo bahwa protes soal tuan rumah babak 4 Kualifikasi Piala Dunia adalah hal yang sia-sia bukan berarti kita harus diam saja. Justru ini menjadi panggilan untuk lebih fokus pada hal-hal yang bisa kita kontrol: yaitu performa di lapangan, persiapan yang matang, dan strategi jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.
Sepak bola modern bukan hanya tentang siapa yang mencetak gol terbanyak, tetapi juga siapa yang paling siap secara organisasi, mental, dan politik. Indonesia bisa memilih untuk terus menjadi korban sistem, atau mulai membangun sistemnya sendiri yang lebih kuat dan mandiri.
Di tengah ketimpangan yang ada, keberanian untuk melawan lewat performa di lapangan akan menjadi perlawanan paling efektif. Dan seperti yang disimpulkan Anton Sanjoyo, “Tak perlu ribut soal venue, karena siapa pun lawannya, dan di mana pun pertandingannya, pemenang tetap ditentukan oleh siapa yang paling siap.”