Masinton Minta Pemerintah Pusat Fasilitasi Dialog Sengketa 4 Pulau

Seruan Masinton Pasaribu untuk Mediasi Pusat

Anggota Komisi II DPR RI, Masinton Pasaribu, secara tegas meminta pemerintah pusat untuk turun tangan dan memfasilitasi dialog antar-pihak terkait sengketa empat pulau yang berada di wilayah perbatasan antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Sengketa ini dinilai bukan hanya persoalan administratif, melainkan juga berkaitan erat dengan aspek sosial, budaya, dan historis yang sensitif di kalangan masyarakat lokal.

Masinton menekankan pentingnya pemerintah pusat bersikap aktif dalam menyelesaikan persoalan ini secara adil dan terbuka agar tidak menimbulkan ketegangan yang lebih luas. “Negara tidak boleh membiarkan daerah berkonflik tanpa arahan. Pemerintah pusat harus memediasi dengan serius,” kata Masinton dalam keterangannya di Jakarta.

Permintaan ini datang setelah mencuatnya polemik status empat pulau—Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Tokong Hiu—yang diklaim masuk wilayah Sumatera Utara oleh Kemendagri, namun mendapat keberatan dari Pemerintah Provinsi Aceh.

Kronologi Munculnya Sengketa

Proses Verifikasi Kemendagri

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebelumnya telah merilis hasil verifikasi yang menyebut bahwa keempat pulau tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara. Keputusan ini menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak di Aceh, termasuk pemerintah daerah, tokoh masyarakat, hingga anggota legislatif lokal.

Berdasarkan keterangan Kemendagri, penentuan batas wilayah dilakukan berdasarkan dokumen historis dan peta batas daerah yang terverifikasi secara nasional. Namun, penafsiran atas dokumen tersebut dinilai tidak mutlak, sehingga memunculkan perdebatan baru.

Reaksi Pemerintah Aceh

Pemerintah Provinsi Aceh secara resmi menyatakan keberatan atas hasil verifikasi tersebut. Pemerintah Aceh berpendapat bahwa keempat pulau tersebut secara historis dan administratif selama ini dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Bahkan, beberapa fasilitas umum dan kegiatan sosial masyarakat di pulau-pulau tersebut dikelola oleh aparat dan warga Aceh.

Gubernur Aceh melalui jajarannya menyampaikan protes dan meminta adanya peninjauan ulang terhadap keputusan tersebut. Aceh juga mengajukan permintaan untuk dilakukan dialog terbuka dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

Kepentingan Strategis Pulau-Pulau Sengketa

Letak Geografis yang Strategis

Keempat pulau yang menjadi sengketa berada di wilayah perbatasan laut antara Aceh dan Sumatra Utara, menjadikannya kawasan yang strategis baik dari aspek pertahanan, perikanan, maupun potensi pariwisata. Posisi geografis yang dekat dengan jalur pelayaran laut nasional menambah nilai penting dari keberadaan pulau-pulau ini.

Dalam konteks geopolitik, pengelolaan pulau-pulau terluar sangat krusial untuk menjaga kedaulatan negara. Oleh karena itu, kejelasan administrasi menjadi bagian penting dalam menjaga ketertiban dan legalitas pengelolaan wilayah.

Sumber Daya Alam dan Ekonomi

Selain strategis, pulau-pulau tersebut juga memiliki potensi sumber daya alam, terutama di sektor perikanan dan hasil laut. Banyak nelayan dari Aceh yang menggantungkan hidup mereka dengan melakukan aktivitas penangkapan ikan di sekitar pulau-pulau tersebut. Kehilangan klaim atas wilayah itu akan berdampak langsung terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir Aceh.

Pemerintah daerah Aceh juga telah mengembangkan infrastruktur kecil seperti pos nelayan, dermaga, dan pemukiman sementara di beberapa pulau tersebut. Investasi tersebut menjadi bukti keterlibatan nyata Aceh dalam pengelolaan wilayah itu.

Usulan Dialog sebagai Jalan Tengah

Peran Pemerintah Pusat sebagai Mediator

Masinton menilai bahwa keterlibatan pemerintah pusat menjadi kunci untuk menyelesaikan sengketa secara objektif. Sebagai representasi negara, pusat diharapkan tidak memihak salah satu pihak, melainkan bersikap netral dan menjembatani komunikasi antara Aceh dan Sumatra Utara.

“Ini bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi soal menjaga keutuhan bangsa. Pemerintah pusat harus membuka ruang dialog agar semua pihak bisa menyampaikan argumen dan data secara terbuka,” ujar Masinton.

Menurutnya, pendekatan dialog lebih manusiawi dan sesuai dengan semangat otonomi daerah yang diatur dalam konstitusi. Sengketa wilayah seperti ini harus dihindarkan dari pendekatan koersif atau keputusan sepihak yang bisa memicu resistensi.

Keterlibatan Lembaga Independen

Masinton juga mengusulkan agar dialog fasilitasi ini tidak hanya diisi oleh perwakilan dari pemerintah daerah dan pusat, tapi juga melibatkan lembaga-lembaga independen seperti Ombudsman, akademisi, serta tokoh masyarakat. Hal ini diperlukan untuk menjaga transparansi dan objektivitas proses penyelesaian.

Selain itu, dokumentasi sejarah dan bukti administratif dari kedua belah pihak juga perlu diverifikasi secara cermat oleh para ahli yang memiliki integritas dan tidak berpihak.

Respon Publik dan Dinamika di Lapangan

Gelombang Aspirasi Masyarakat Aceh

Setelah hasil verifikasi Kemendagri diumumkan, sejumlah aksi unjuk rasa terjadi di berbagai wilayah di Aceh, khususnya di Aceh Singkil. Massa yang terdiri dari mahasiswa, tokoh adat, hingga masyarakat nelayan menyuarakan penolakan atas hasil verifikasi tersebut. Mereka menuntut agar pemerintah pusat tidak mengabaikan sejarah dan hak adat atas pulau-pulau tersebut.

Sebagian masyarakat bahkan mengancam akan melakukan aksi simbolik dengan mengibarkan bendera Aceh di wilayah pulau yang disengketakan sebagai bentuk protes. Hal ini menunjukkan tingkat sensitivitas persoalan yang melibatkan identitas dan rasa keadilan masyarakat lokal.

Potensi Konflik Sosial dan Politik

Sengketa ini juga berpotensi menjadi isu politik yang lebih luas. Beberapa elite daerah mulai menjadikan isu ini sebagai bahan kampanye dan perdebatan menjelang pilkada serentak. Ketegangan horizontal antar-masyarakat juga bisa terjadi jika masalah ini tidak diselesaikan dengan cepat dan arif.

Masinton memperingatkan agar elite politik tidak memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan elektoral semata. Menurutnya, penyelesaian persoalan batas wilayah harus dijauhkan dari polarisasi politik yang bisa memperkeruh suasana.

Tinjauan Hukum: Landasan dan Prosedur

Dasar Hukum Penetapan Wilayah

Penetapan batas wilayah administrasi antar-daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penetapan batas harus merujuk pada dokumen hukum yang sah dan peta yang telah disahkan bersama oleh daerah yang berbatasan. Bila terjadi sengketa, maka penyelesaiannya diatur melalui mekanisme dialog atau bahkan pengujian hukum melalui Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Namun, dalam banyak kasus di Indonesia, dokumen historis kerap mengalami tumpang tindih interpretasi. Ada wilayah yang dulunya berada di bawah satu wilayah administrasi, namun karena perubahan struktur pemerintahan, menjadi berpindah ke daerah lain. Hal inilah yang juga diduga terjadi dalam kasus sengketa empat pulau ini.

Perlu Ada Review Kebijakan Wilayah Perbatasan

Masinton menyarankan agar pemerintah pusat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penetapan batas wilayah di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah perbatasan antardaerah. Hal ini untuk menghindari munculnya persoalan serupa di masa depan.

“Sengketa batas wilayah bukan hanya persoalan Aceh dan Sumut. Di banyak daerah lain, potensi konflik serupa juga mengintai. Perlu pembenahan sistemik agar ke depan tidak menjadi bom waktu,” jelasnya.

Kesimpulan: Pentingnya Keadilan dan Transparansi

Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatra Utara bukan hanya pertarungan administratif, tetapi juga soal rasa keadilan, sejarah, dan jati diri masyarakat lokal. Permintaan Masinton Pasaribu agar pemerintah pusat turun tangan menjadi relevan dan mendesak di tengah potensi konflik yang semakin besar.

Pemerintah pusat diharapkan tidak hanya berperan sebagai pengambil keputusan, tetapi sebagai fasilitator dialog yang mampu menjembatani kepentingan kedua belah pihak secara objektif dan damai. Keterlibatan unsur independen dan keterbukaan data menjadi kunci keberhasilan dalam menyelesaikan persoalan ini.

Di atas segalanya, penyelesaian sengketa wilayah harus menjunjung tinggi prinsip persatuan, menghormati sejarah, serta mendahulukan kepentingan rakyat di atas segalanya. Jika tidak diselesaikan dengan bijak, bukan tidak mungkin sengketa ini akan meninggalkan luka sosial yang mendalam dan berkepanjangan. Oleh karena itu, langkah mediasi yang segera, terbuka, dan adil harus menjadi prioritas utama dalam menyelesaikan polemik ini.

geyserdirect.com

pututogel.it.com

ti-starfighter.com