“Kepada Tanah”: Mendengungkan Perjuangan Warga Wadas Melalui Pameran Kopi

Mar 17, 2022 | 0 comments

Written by walhijogja

Pada sore di hari Minggu, 27 Februari 2022, seruan “Cabut IPL Wadas” dan “Tarik Aparat dari Desa Wadas” bergema dari ruang aula yang berada di lantai dua Kedai Kebun Forum, Mantrijeron, Yogyakarta. Diskusi itu memperbincangkan perjuangan warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, menolak proyek tambang batuan andesit di desa mereka.

Sementara, puluhan kemasan kopi dengan beragam gambar yang didominasi narasi dan simbol perjuangan warga Wadas menghiasi sudut ruang galeri seni yang berada di lantai dasar kedai itu. Galeri juga dihiasi kata pengantar pameran yang dituliskan langsung pada dinding; foto-foto yang menampilkan tumpukan biji kopi, tanaman kopi, dan seorang petani Wadas sedang menyodorkan tangan berisi butiran kopi; bersanding dengan susunan besek (anyaman bambu yang biasanya digunakan untuk membungkus makanan) membentuk persegi yang menampilkan lukisan perempuan dengan wajah muram dalam pelukan seorang pria, tulisan “Wadas Ora Didol”, serta tangan yang menggenggam bucket eskavator.

Diskusi dan pameran kopi itu menjadi rangkaian dari pameran dengan tema, “Kepada Tanah: Hidup dan Masa Depan Wadas”. Pameran ini digelar di Seminyak (Bali), Batu, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, secara bersusulan sejak 8-28 Februari 2022.

Gelombang solidaritas antar kota, antar provinsi

Pameran Kepada Tanah lahir dari kepedulian jejaring solidaritas atas penolakan warga Wadas terhadap rencana tambang andesit. Kisah penolakan itu bermula dari rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener yang akan mengeruk material pembangunan dari Desa Wadas. Material berupa batuan andesit dari Wadas akan dikeruk melalui aktivitas pertambangan di atas lahan seluas 114 hektar.

Sementara, desa yang berada di punggung perbukitan menoreh ini merupakan lahan produktif. Selama turun-temurun, warga Wadas menggantungkan hidupnya dari aneka hasil pertanian yang tumbuh di desa mereka.

Bukan hanya itu, 27 sumber mata air yang tersebar di penjuru desa dimanfaatkan oleh warga untuk mengairi lahan pertanian maupun pemukiman. Bambu-bambu yang tumbuh liar di pekarangan rumah dan kebun menjadi bahan pokok menganyam besek dan baki, dua komoditas yang mereka jual untuk menambah penghasilan.

Warga menilai, manfaat yang telah dilimpahkan oleh “Bumi Wadas” akan lenyap bila tambang andesit berhasil masuk. Sejak rencana tambang andesit ini pertama kali berhembus sekira tahun 2015, warga telah melayangkan penolakan.

Bukan semata-mata alasan ekonomi yang mendasari penolakan warga. Merawat sejarah dan kebudayaan warisan nenek moyang juga menjadi dasar penolakan.

“Penambangan itu, apabila benar-benar terjadi di Wadas, kita tidak hanya kehilangan ruang hidup, kita juga kehilangan sejarah,” ujar Arofah, warga Wadas, dalam diskusi di Yogyakarta.

Penolakan warga Wadas, menurut Ginseng (bukan nama sebenarnya), satu dari penyelenggara pameran Kepada Tanah, berlandaskan pada upaya untuk menjaga keutuhan ruang hidup mereka. Warga Wadas, menurutnya, memiliki ikatan yang kuat dengan tanah di mana mereka hidup.

“Itu kan ikatan yang sangat spiritual antara warga Wadas dengan tanahnya, bukan hanya persoalan nilai aset yang bisa diuangkan,” ujarnya.

Perjuangan warga mempertahankan ruang hidupnya itulah yang melahirkan pameran Kepada Tanah. Pilihan nama “Kepada Tanah” sebagai tema pameran juga terinspirasi dari pemaknaan warga Wadas terhadap tanah sebagai ruang hidup.

Pada bagian lain, Desa Wadas merupakan penghasil dan pengolah kopi dengan jenis robusta. Farid Stevy, salah satu penyelenggara dan kontributor pameran, menyampaikan dalam diskusi Kepada Tanah di Kedai Kebun Forum bahwa kopi telah menjadi minuman yang populer dan menjadi gaya hidup di banyak kalangan. Karena itu, menurutnya, “Kopi bisa menjadi alat untuk membicarakan apa yang terjadi di Wadas kepada publik yang lebih luas.”

Ada 22 seniman dari berbagai kota yang terlibat dalam pameran ini. Para seniman itu menuangkan karya mereka pada kemasan kopi Wadas berukuran 250 gram. Total keseluruhan kemasan kopi itu berjumlah 135 kemasan dan dibagi merata di enam lokasi pameran (22 kemasan di masing-masing lokasi pameran).

Karya-karya yang dipamerkan di Omuniuum, Bandung. (Dokumentasi Kepada Tanah)

Farid menyampaikan, kopi dengan kemasan berisi karya seniman diperjualbelikan sebagai karya seni. Masing-masing kopi itu bisa ditebus seharga 400 ribu rupiah. Penyelenggara juga menyediakan kopi 250 gram tanpa karya seniman yang ditebus dengan harga 50 ribu rupiah per-bungkus. Semua hasil penjualan kopi itu akan didonasikan seluruhnya kepada warga Wadas.

“Semoga sedikit-demi-sedikit itu bisa membantu warga Wadas untuk tetap optimis dengan situasi yang terjadi di ruang mereka dan juga memperpanjang nafas perjuangan mereka,” lanjut Farid.

Mulanya, pameran ini hanya akan digelar di Yogyakarta. Seiring proses persiapan yang dilakukan, muncul kesepakatan untuk menyelenggarakan pameran kopi dan diskusi tentang persoalan Wadas di enam kota yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali.

Selain menghubungi para seniman, penyelenggara juga menghubungi jejaring komunitas di masing-masing kota untuk memfasilitasi pameran ini.

Para penyelenggara di masing-masing kota mengorganisir lokasi, pembicara diskusi, dan desain galeri pameran. Urusan ketiga hal itu diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara di masing-masing kota. Bahkan, tidak semua kota menyelenggarakan pameran di galeri seni yang sesungguhnya. Beberapa lokasi pameran memanfaatkan ruang café atau toko sebagai galeri untuk memamerkan karya-karya tersebut.

Pengunjung memadati pameran di Galeri Raos, Batu, Jawa Timur. (Dokumentasi Kepada Tanah)

Sementara itu, perwakilan warga Wadas bersama sejumlah penyelenggara yang sebagian besar berasal dari Yogyakarta menjajaki enam kota lokasi pameran.

Jahe (bukan nama sebenarnya), salah satu penyelenggara yang turut menjajaki enam kota, menuturkan bahwa prinsipnya satu: “kesukarelaan”. Tidak ada yang minta bayaran atau dibayar. Solidaritas kepada warga Wadas mendasari keterlibatan jejaring komunitas di setiap kota tersebut.

Selain pameran kopi, rangkaian kegiatan lain dalam pameran ini ialah diskusi. Diskusi dilakukan secara beruntun di enam kota, beberapa hari setelah pameran di masing-masing kota itu dibuka. Bukan hanya warga Wadas, warga terdampak proyek-proyek serupa juga turut menjadi pengisi diskusi di masing-masing kota.

Pameran sebagai ruang “bercerita”

Bukan tanpa alasan mengapa pameran seni dipilih sebagai medium untuk mendistribusikan persoalan Wadas. Ginseng menuturkan, ruang kesenian relatif lebih dekat dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, lanjut Gingseng, penyelenggara berharap persoalan dan alasan penolakan warga Wadas dapat tersampaikan secara utuh kepada publik yang lebih luas.

“Supaya isu ini enggak hanya kita bicarakan antar kita aja yang selalu terlibat dalam isu-isu itu. Tapi kita juga coba untuk melintasi galaksi yang lain,” tutur Ginseng.

Suasana diskusi di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. (Dokumentasi Kepada Tanah).

Perbincangan dalam diskusi di masing-masing kota tidak melulu menyoal Wadas, melainkan juga membicarakan beragam persoalan serupa yang berlangsung di wilayahnya masing-masing.

“Sebenarnya bukan ngomongin tentang kita aja, bukan [hanya] tentang Wadas. Tapi di kota-kota yang kita kunjungi, justru dia punya banyak ruang untuk bercerita,” ujar Jahe.

Jahe menceritakan, diskusi yang berlangsung di Uma Seminyak, Seminyak, Bali (10/2) mencoba untuk melihat irisan antara program pembangunan pariwisata di pulau ini dengan persoalan di Wadas. Irisan persoalan itu, paparnya, terletak pada pembangunan Bendungan Bener yang salah satunya akan menyuplai air kawasan kota bandara (aerotropolis) Yogyakarta International Airport (YIA) di Provinsi Yogyakarta. Kawasan ini akan mendukung program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Yogyakarta, proyek yang juga membingkai arah pembangunan di Bali.

Cerita yang sama juga hadir di Semarang, Jawa Tengah. Selain warga Wadas, ada empat warga terdampak konflik perampasan ruang hidup menjadi pembicara diskusi yang berlangsung pada 19 Februari 2022.

Empat warga itu di antaranya berasal dari Batang, Jawa Tengah, yang menghadapi konflik penyerobotan lahan pertanian dan kerusakan kawasan tangkap ikan karena proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU); warga Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, yang saat ini sedang menghadapi ancaman proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (geothermal) dan proyek pariwisata; warga Sukoharjo, Jawa Tengah, yang terdampak pencemaran limbah PT RUM; serta warga Sragen, Jawa Tengah, yang sejak tahun 1985-an terjerat konflik pembangunan Waduk Kedung Ombo.

Suasana haru menyelimuti ruang diskusi ketika Pujo, warga Batang, mendapat giliran berbicara. Ia tidak sanggup menahan air mata ketika menceritakan kisah pilu perjuangan yang ia dan warga desanya lakukan sejak 10 tahun lalu. Beberapa upaya telah mereka lakukan, termasuk datang ke Jakarta untuk menemui Presiden Joko Widodo. Namun, upaya tersebut belum pernah mendapat respon dari pemerintah.

“Sampai sekarang saya berjuang. Bukan keringat air, keringatnya darah,” tutur Pujo saat diskusi di Semarang.

Sementara, Fariz, warga Sragen, menyayangkan peristiwa penyerbuan aparat kepolisian seperti yang terjadi di Wadas masih berlangsung di era saat ini.

“Zaman 2022 masih ada kayak ini. Makanya saya terenyuh sekali,” tutur Fariz saat diskusi di Semarang.

Peristiwa penyerbuan aparat itu pernah ia alami di akhir tahun 80-an ketika Ia dan warga desanya menolak pembangunan Waduk Kedung Ombo, sebuah proyek yang didanai oleh pemerintah Suharto bersama Bank Dunia. Penolakan itu berbalas dengan penyerbuan militer ke desanya.

Hingga saat ini, ia bersama warga desanya tetap rutin melayangkan protes kepada pemerintah.

“Saya tahun 2014 demo 24 truk di [kantor] Gubernuran [Jawa Tengah],” ujarnya.

“Bukan cuma Wadas, bahkan.” Pria bersuara lantang itu melanjutkan, “Ternyata, penderitaan ini dirasakan hampir oleh seluruh rakyat-rakyat tertindas di Jawa Tengah. Dan tadi itu, atas nama proyek-proyek strategis yang bukan strategis untuk kita.”

Mengabarkan persoalan-persoalan demikian ke publik yang lebih luas seperti aksi unjuk rasa, misalnya, menurut Fariz, menjadi penting untuk dilakukan, namun dengan waktu yang lebih panjang.

“Dua sampai tiga orang [unjuk rasa] enggak apa-apa, tapi tiga bulan,” lanjutnya.

Bergeser ke Bandung, Jawa Barat. Jahe melanjutkan, suasana diskusi (23/2) yang hadir di kota ini berbeda dengan kota-kota lain sebab berlangsung di kampung yang sedang mengalami konflik. Lokasi diskusi berada di kampung Dago Elos, sebuah kampung yang sedang dibayangi ancaman penggusuran oleh pembangunan apartemen The MAJ sekaligus klaim kepemilikan tanah oleh Keluarga Muller (6,3 hektar kawasan pemukiman warga Dago Elos diklaim sebagai lahan keluarga mereka dengan alasan warisan kakek mereka, George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda) dan PT Dago Inti Graha.

Selain warga dari Dago Elos dan Wadas, warga Anyer Dalam, Batununggal, Kota Bandung, juga hadir sebagai pembicara diskusi. Di Anyer Dalam, sekitar 25 rumah warga mengalami pembongkaran karena lahan pemukiman mereka diklaim sebagai milik PT Kereta Api Indonesia.

Ginseng memandang, diskusi di sejumlah kota menyiratkan sebuah pesan bahwa penggusuran ruang hidup bukan hanya dialami oleh warga Wadas, melainkan terjadi di banyak tempat. Pendapat itu senada dengan kata pengantar pameran yang ditulis oleh Felix Dass, “Hari ini kita merayakan perlawanan dari Desa Wadas. Bukan tidak mungkin, besok yang melawan adalah desamu, kampung kotamu, tempatmu hidup.”

Intimidasi menghadang di tengah jalan

Pameran Kepada Tanah tidak sepenuhnya berjalan mulus. Kegiatan ini mengundang tekanan dari militer dan aparat kepolisian, seperti yang terjadi di Batu, Jawa Timur, dan Semarang.

Pada tanggal 17 Februari 2022, pemilik Galeri Raos, Kecamatan Batu, Kota Batu, mendapatkan kabar bahwa galeri yang menjadi lokasi pameran Kepada Tanah itu akan didatangi oleh anggota koramil setempat. Kabar itu berhembus satu hari setelah diskusi diselenggarakan (16/2).

Meskipun demikian, kabar itu tidak menghalangi kegiatan pameran di Kota Batu yang berlangsung tanggal 12-17 Februari 2022.

Semarang menjadi kota berikutnya pameran Kepada Tanah. Peristiwa yang terjadi di Kota Batu kembali terulang. Pada 19 Februari 2022, diskusi pameran yang digelar di Matera Café, Banyumanik, Semarang, mendapatkan intimidasi dari aparat kepolisian.

“Jadi ada intimidasi ke penyelenggara bahwa diskusi ini tidak boleh dilangsungkan di sini,” tutur Ujo, salah satu penyelenggara pameran di Semarang.

Karena ancaman itu, penyelenggara terpaksa memindah lokasi diskusi ke tempat yang jaraknya sekira 100 meter dari lokasi sebelumnya.

Bagaskara, pemilik Matera Café, menyampaikan, pada Jum’at, 19 Februari 2022, sekira pukul 10:00 WIB, aparat kepolisian mendatangi Matera Café dan mengajak dirinya ke sebuah kedai kopi yang berada di daerah Banyumanik. Aparat kepolisian meminta dirinya untuk membatalkan diskusi dan mengancam akan menyegel cafénya apabila diskusi tetap berjalan.

Alasan polisi melarang diskusi itu ialah perizinan dan protokol kesehatan Covid-19. Namun, Bagaskara menyangkal bahwa cafénya telah memenuhi protokol kesehatan karena menyediakan hand sanitizer di setiap sudut ruangan, tempat cuci tangan, serta meminta pengunjung untuk mengenakan masker.

Perasaan aneh menggantung di benak Bagaskara saat mendengar bahwa polisi hanya melarang diskusi. Sementara rangkaian acara lain, seperti penampilan musik dan pameran kopi, tetap boleh diselenggarakan.

Jawaban lain ia terima ketika kembali meminta alasan pelarangan diskusi pada aparat kepolisian saat pertemuan itu.

“Ini isunya udah sampai atas, dan panas juga. Dan ini di ring satu juga, di Jawa Tengah. Takutnya ini bikin gerakan,” ujarnya menirukan ungkapan polisi.

Bagaskara juga meminta polisi menjelaskan alasan pelarangan diskusi secara langsung kepada penyelenggara pameran. Namun, polisi menolak karena khawatir media akan memberitakan keterlibatan mereka di balik pelarangan diskusi.

“Aku menanyakan alasannya kenapa. Takutnya itu nanti ke blow-up ke media kalau nanti ada campur tangan kepolisian. Itu ungkapan langsung dari mereka [polisi],” ujarnya.

Menanggapi hal itu, rilis pers (19/2) penyelenggara pameran Kepada Tanah menyebut, pelarangan diskusi justru menambah catatan buruk lembaga kepolisian. Merujuk pada rilis tersebut, kegiatan diskusi merupakan kegiatan akademik yang tidak memerlukan surat pemberitahuan, seperti halnya kegiatan perkuliahan maupun ibadah.

Tangkap layar rilis pers intimidasi aparat kepolisian terhadap pameran di Semarang. (Diambil dari akun Instagram @michellucille)

***

Diskusi di Yogyakarta menjadi pemungkas rangkaian pameran ini. Ginseng menuturkan, selesainya rangkaian pameran Kepada Tanah di enam kota tidak menjadi akhir dari kegiatan ini.

“Nanti akan masih ada kegiatan-kegiatan selanjutnya yang itu nanti akan melibatkan warga. Dan akan juga menjaring galaksi-galaksi lain. Cuma kita nanti perlu ngobrolin lagi dengan warga,” ujarnya.

Dalam diskusi di Yogyakarta itu, Sana Ulaili menyampaikan, “Itu [pameran Kepada Tanah] adalah bagian dari bentuk-bentuk yang namanya perlawanan tanpa kekerasan.”

Baginya, pameran ini seirama dengan perjuangan yang dilakukan warga Wadas menolak rencana tambang andesit. Selama ini, warga tidak pernah melakukan penolakan itu dengan menggunakan senjata tajam, “adu jotos”, serta teror kepada pihak pemrakarsa maupun warga yang setuju dengan tambang andesit.

Mujahadah (doa bersama), membagikan hasil bumi, serta menampilkan kesenian lokal, menurut Sana, menjadi beberapa di antara bentuk perjuangan yang dilakukan warga.

Padahal, teror, pemukulan, serta penangkapan oleh aparat kepolisian seringkali dialami warga, seperti penyerbuan polisi ke Desa Wadas pada 8 Februari 2022 silam. Itu kali kedua setelah satu tahun sebelumnya, 23 April 2021, warga yang melakukan mujahadah untuk menghadang sosialisasi pematokan lahan dibalas kekerasan dan penangkapan oleh aparat kepolisian yang mengawal kegiatan itu.

“Ini adalah potret tentang bagaimana negara ini secara terbuka itu merampas tidak hanya ruang budaya, ruang politik, ruang ekonomi, tidak hanya merampas sumber kehidupan mereka. Tetapi sebenarnya, mereka [negara] sedang merampas segala hal yang mereka [warga Wadas] miliki terkait dengan tanah, terkait dengan rumah, dengan apapun yang ada di Wadas. Kedaulatan mereka betul-betul dilucuti satu-satu,” terang Sana.


Bayu Maulana