Intimidasi dan Dugaan Pelanggaran Hukum Aktivitas Aparat Kepolisian di Desa Wadas

Nov 8, 2021 | 0 comments

Written by walhijogja

Tercatat, sudah ada 16 kali kedatangan aparat kepolisian Polres Purworejo, Jawa Tengah, ke desa Wadas, Purworejo, sejak tanggal 22 September 2021. Begitulah ungkapan Himawan Kurniadi saat membuka konferensi pers yang diadakan di kantor Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta, pada Kamis, 4 November 2021. Acara konferensi pers ini melibatkan sejumlah organisasi, di antaranya ialah Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA), Kaula Muda Desa Wadas (KAMUDEWA), WALHI Nasional, WALHI Yogyakarta, Lembaga Batuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih, dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).  

Arofah, selaku perwakilan dari KAMUDEWA, menuturkan bahwa kedatangan pihak kepolisian secara rutin ke Desa Wadas dengan seragam dan senjata lengkap justru mengembalikan ingatan warga pada momen buruk yang terjadi di pengujung bulan April lalu. Momen buruk itu merujuk pada tanggal 23 April 2021, ketika warga menggelar aksi diam dengan melakukan mujahadah (doa dan bersalawat) di depan Balai Desa Wadas untuk menghadang masuknya ratusan aparat kepolisian dan sejumlah pihak dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purworejo dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWS-SO) dalam rencana sosialisasi dan pematokan lahan untuk kepentingan proyek penambangan batuan andesit (quarry) di Desa Wadas.

Aksi diam yang sebagian besar dilakukan oleh kelompok perempuan Wadas dibalas dengan tindakan kekerasan dan penangkapan sejumlah warga dan pendamping hukum oleh aparat kepolisian. Bahkan, pada waktu itu, pihak kepolisian juga menembakkan gas air mata ke kerumunan warga yang berlarian menyelamatkan diri dari kebringasan aparat. Selain belasan warga mengalami luka-luka, kekerasan yang dilakukan aparat pada bulan April itu, tutur Arofah, meninggalkan rasa trauma yang mendalam di benak warga. Arofah juga menyampaikan bahwa kehadiran aparat kepolisian secara rutin dalam kurun 28 hari kerja di Desa Wadas, mengembalikan rasa trauma pada peristiwa tindakan kekerasan aparat kepolisian tersebut.

Dalam siaran pers juga disebutkan bahwa kedatangan pihak kepolisian secara rutin ke Wadas didasarkan pada alasan yang tidak jelas. Pihak kepolisan seringkali menggunakan alasan patroli ketika datang ke Wadas. Dalam momen yang lain, kedatangan pihak kepolisian dilatarbelakangi oleh aktivitas membagi-bagikan sembako atau masker. Namun, Arofah menyampaikan bahwa, aktivitas tersebut menjadi rancu sebab hal itu hanya dilakukan di Wadas dan tidak dilakukan di desa-desa sekitarnya, terutama yang beririsan secara langsung dengan wilayah Desa Wadas. Sedangkan, menurutnya, kehadiran aparat tersebut berhasil membangun rasa cemas, takut serta ketidaknyamanan di benak warga, terutama kelompok perempuan dan anak-anak.

Dalam konferensi pers ini, Sana, selaku perwakilan SP Kinasih, menuturkan bahwa warga Wadas, khususnya perempuan dan anak-anak, telah mengalami kekerasan berlapis, yakni kekerasan psikis dan fisik. Kekerasan psikis, demikian menurut Sana, hadir dari bagaimana masyarakat Wadas harus dihadapkan pada ketakutan akan kehadiran aparat kepolisian dengan menggunakan peralatan lengkap, seperti senjata laras panjang.

Sementara kekerasan fisik, menurutnya, telah dialami oleh warga, terutama pada peristiwa 23 April silam, yang berujung pada hadirnya ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam kehidupan warga. Sana melanjutkan bahwa, kekerasan psikis memiliki hubungan dengan kekerasan fisik. Kekerasan psikis dalam rupa rasa trauma yang menimpa masyarakat Wadas telah berdampak pada terganggunya aktivitas ekonomi yang dilakukan warga dalam kehidupan sehari-harinya. Hal tersebut, menurut Sana, karena warga dihantui rasa takut dan kecemasan akan kehadiran aparat kepolisian ketika, misalnya, pergi ke kebun atau menjalankan aktivitas ekonomi lainnya.

Sana juga menuturkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian adalah potret dari kekerasan sistemik dimana dalih keamanan masih digunakan sebagai pendekatan dalam mengatur jalannya negara.

“…ini [pendekatan kekerasan sistemik] sebenarnya menghancurkan segala aspek kehidupan warga, terutama perempuan dan anak. Tidak hanya hilang ruang kehidupannya, sumber kehidupannya, tetapi juga hilang yang namanya rasa aman, nyaman, tentram yang sebenarnya itu dijamin dalam Pembukaan UUD 1945”, tutur Sana.

Di samping itu, kehadiran aparat kepolisian di Desa Wadas yang beberapa kali menggunakan alasan patroli dan membawa senjata lengkap, menurut Julian, selaku perwakilan LBH Yogyakarta sekaligus pendamping hukum warga Wadas, tidak dapat dilihat sebagai patroli biasa. Dengan merujuk pada tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian pada 23 April lalu, Julian menegaskan bahwa ada indikasi pihak kepolisian berada di barisan pemegang proyek maupun pemrakarsa rencana penambangan batuan andesit di Wadas.

Senada dengan Julian, Isnur, perwakilan dari YLBHI, memandang bahwa lembaga kepolisian tidak lagi bisa dilihat sebagai lembaga netral. Hal ini, menurutnya, dapat dilihat dari peristiwa 23 April lalu dimana aparat kepolisian justru menyerang dan melakukan kriminalisasi terhadap warga. Oleh karena itu, Isnur menegaskan bahwa kehadiran secara rutin aparat kepolisian di Wadas memiliki indikasi terhubung dengan kepentingan proyek penambangan di sana.

Di samping itu, Isnur juga mensinyalir bahwa kedatangan aparat kepolisian secara rutin dengan membawa senjata lengkap merupakan perbuatan yang menyimpang dari prosedur kepolisian dan sangat berpotensi kuat melanggar hukum. Menurutnya, setiap tindakan yang dilakukan aparat kepolisian harus sesuai dengan peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan. “Setiap kegiatan yang dilakukan oleh polisi itu ada standarnya: dia operasi untuk apa, berapa personilnya, dengan operasi seperti apa, senjata apa yang dibawa, kesatuan mana yang berangkat itu ada standarnya,” tutur Isnur.

Karena itu, Isnur menilai bahwa kehadiran aparat kepolisian secara rutin di Desa Wadas dengan alasan patroli dan membawa senjata lengkap merupakan tindakan berlebihan dan tidak sesuai dengan peraturan Kapolri di atas. Berangkat dari hal tersebut, menurutnya, menjadi wajar apabila muncul kecurigaan bahwa tindakan aparat kepolisian di Wadas merupakan bentuk intimidasi kepada warga.

Selain itu, dalam konferensi pers ini juga disampaikan di tengah penolakan yang dilakukan warga terhadap rencana proyek penambangan, tidak menjadi alasan untuk menghentikan aktivitas proyek penambangan. Hal ini dicerminkan dari terus berlangsungnya pembangunan jalan yang diduga kuat menjadi akses penambangan batuan andesit di Wadas terus berlangsung. Peristiwa demikian, menurutnya, mencermikan bahwa pemerintah telah mengabaikan suara penolakkan warga yang didasarkan pada upaya untuk menjaga keutuhan desa dan lingkungannya.

Tidak jauh berbeda. Wahyu, selaku perwakilan dari WALHI Nasional, menuturkan bahwa kasus kekerasan yang hadir dalam proyek-proyek pemerintah dan diabaikannya suara warga terdampak oleh pemerintah bukan hanya menimpa warga Wadas. Kasus-kasus demikian, menurutnya, terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Lebih lanjut, Wahyu memandang bahwa kedua hal tersebut memiliki irisan dengan tindakan-tindakan pemerintah yang lebih mengutamakan investasi ketimbang nasib warga dan kelestarian lingkungan.

“Diabaikannya protes warga ini jadi catatan kita memasuki masa kelam kerusakan lingkungan hidup yang baru; Ombibus Law lahir, argumentasi penolakkan tidak digunakan dalam putusan Wadas, plus presiden sama menterinya ber-statemen yang beda-beda tipis: pembangunan tidak boleh dihentikan atas nama deforestasi”, tutur Wahyu.

Dengan alasan-alasan di atas, GEMPADEWA bersama dengan LBH Yogyakarta dan sejumlah organisasi yang tergabung dalam konferensi pers ini akan melayangkan laporan atas tindakan aparat kepolisian Polres Purworejo tersebut ke Mabes Polri.

Pada dasarnya, pengiriman laporan kepada Mabes Polri bukan kali pertama dilakukan oleh warga Wadas. Menurut Julian, pengiriman laporan dalam bentuk surat keberatan pernah juga dilakukan ketika warga Wadas dan pendamping hukum dari LBH Yogyakarta mengalami tindakan kekerasan dan penangkapan pada tanggal 23 April lalu. Namun, hingga saat ini, laporan tersebut belum mendapatkan respon dari pihak Mabes Polri. Ia menegaskan bahwa, apabila laporan kedua ini juga tidak mendapatkan respon serupa, maka akan berpotensi memicu hadirnya ketidakpercaan publik kepada aparat penegak hukum. “Jadi sebenarnya, ini ada trauma juga dari masyarakat, bahwa ketika kita sudah mengirimkan ke Mabes Polri tidak ditindaklanjuti juga. Tentu, potensi ketidakpercayaan kepada polisi akan timbul juga.”


Bayu Maulana