Pelatihan Sistem Informasi Geografi: Instrumen Mewujudkan Keadilan dan Keberlanjutan Lingkungan Hidup Berbasis Ruang

Dec 9, 2021 | 0 comments

Written by walhijogja

Pada Senin dan Selasa, tanggal 6-7 December 2021, berlangsung pelatihan Sarana Informasi Geografi (Geographic Information System/GIS) di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta. Pelatihan yang berlangsung dua hari ini diikuti sejumlah Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dari berbagai kampus di Yogyakarta, di antaranya ialah Mapalaska (Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga), Majestic 55 (Universitas Gadjah Mada), Mapala Cakrawala (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha), dan Mapala Janagiri (Universitas Janabadra).

GIS merupakan sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, menyebarkan data atau informasi yang bersifat spasial (ke-ruang-an) dengan tujuan untuk menunjukan posisi, lokasi, situasi, kecenderungan, dan pola untuk mendukung pengambilan keputusan.

Achmad Rozani, Manager Tata Ruang dan GIS WALHI sekaligus fasilitator dalam kegiatan ini menuturkan, tujuan diselenggarakan pelatihan GIS ialah untuk meningkatkan kapasitas anggota WALHI dalam melakukan pemetaan dan pengolahan data dan informasi berbasis ruang yang bersifat ilmiah sehingga dapat memberikan manfaat bagi kerja-kerja advokasi, di luar model advokasi berbasis litigasi dan sebagainya.

Selain itu, karena WALHI merupakan organisasi berbasis kaderisasi, maka kegiatan pelatihan ini juga bertujuan untuk memperluas kedekatan di antara kader sekaligus menjadi medium untuk mentransmisikan nilai-nilai yang diemban oleh organisasi ini.

Materi yang disampaikan dalam kegiatan ini, sebagaimana yang dituturkan oleh Achmad, dikategorikan dalam dua bentuk, yakni materi yang bersifat paradigmatik dan materi yang bersifat teknis. Pada kategori pertama, para peserta disuguhkan dengan materi paradigma tata ruang untuk memantik kesadaran tentang relasi, interaksi, kontradiksi atau pemanfaatan ruang dari model perencanaan dan pengendalian tata ruang yang ditetapkan dalam kebijakan pemerintah.

Sebab, penetapan wilayah dalam sebuah kebijakan pemerintah seringkali menjadi pemicu hadirnya bentuk-bentuk perampasan ruang hidup masyarakat. Karena itu, materi ini dapat memantik kesadaran peserta dalam mewujudkan perpektif keadilan dan keberlanjutan lingkungan hidup yang berbasis ruang. “Materi soal paradigma tata ruang agar kita melihat bagaimana sebetulnya perspektif keadilan dan keberlanjutan berbasis ruang terhadap lingkungan hidup”, tutur Achmad.

Di samping itu, dalam materi pertama ini para peserta juga diajak untuk memahami pentingnya pendekatan ruang untuk mewujudkan salah satu tujuan yang diperjuangkan oleh WALHI, yakni Wilayah Kelola Rakyat (WKR). WKR menjadi upaya untuk membangun narasi tanding terhadap praktik-praktik yang memicu hadirnya persoalan sosial dan kerusakan lingkungan yang dilahirkan oleh kebijakan tata ruang.

Sementara, materi kedua diisi dengan peningkatan keterampilan peserta dalam mengoperasikan dan mengolah data GIS. Pada sesi ini, peserta diajak untuk melakukan studi kasus berbasis digital di sejumlah tapak konflik dengan tujuan untuk melatih keterampilan mengoperasikan GIS dan memantik imajinasi mereka dalam melakukan kerja-kerja advokasi berbasis ruang.

Achmad berharap, setelah memiliki keterampilan dalam mengoperasikan alat tersebut, setiap peserta dapat memperkaya informasi dan data bagi kajian-kajian lingkungan hidup, dalam bentuk foto, video, audio maupun narasi. Data dan informasi yang diperoleh menggunakan GIS, salah satunya, dapat dijadikan sebagai bahan kampanye dalam upaya untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kelestarian lingkungan hidup. 

Menurut Achmad, peserta yang terlibat dalam kegiatan ini telah memiliki pengetahuan dasar dalam mengoperasikan GIS, yakni pemetaan ruang, yang sebelumnya telah diperoleh dari pendidikan di organisasi pecinta alam yang mereka ikuti. Namun, Achmad mengingatkan bahwa GIS hanya sebagai alat, sehingga basis paradigma yang mendasari penggunaan alat ini menjadi penting untuk dimiliki oleh masing-masing peserta.

Pelatihan GIS sendiri telah dilakukan di hampir 28 Eksekutif Daerah WALHI sepanjang periode 2015-2021. Setidaknya, pelatihan ini diselenggarakan satu tahun sekali. Achmad menyebut, terlaksananya kegiatan pelatihan ini tidak lepas dari kerjasama antara Eksekutif Nasional WALHI dan Eksekutif Daerah WALHI yang tersebar di sebagian besar wilayah di Indonesia.

“Rutin setiap tahun. Dalam setahun pasti itu adalah sekali. Selama, misalkan, [WALHI] Nasional memiliki sumber untuk bisa melakukan kegiatan ini di luar. Tentu inisiatif dari eksekutif daerah sendiri yang mengundang dengan skema, kalo teknisnya sih mungkin, berbagi sumber daya antara nasional dan daerah”, tutur Achmad.

Tikat, salah satu peserta yang berasal dari Mapalaska, menuturkan, sebelumnya ia hanya mengenal GIS sebagai alat untuk melakukan pemetaan kawasan gunung. Namun, setelah mengikuti pelatihan ini, ia merasa bahwa GIS memiliki fungsi yang lebih luas dari hal tersebut. Ia juga berharap, ke depannya dapat diselenggarakan pendampingan lanjutan bagi peserta yang telah mengikuti pelatihan ini. “Ke depannya mungkin bisa dirutinin lagi, sebulan atau tiga bulan sekali, karena kita sangat butuh sekali, tutur Tikat”

Sementara itu, Achmad menyampaikan, ada kemungkinan pendampingan lanjutan bagi para peserta yang telah mengikuti pelatihan ini. Pendampingan lanjutan dapat terlaksana apabila setiap peserta memiliki inisiatif untuk mengembangkan secara mandiri pengetahuan-pengetahuan yang telah diberikan selama pelatihan. “Bisa jadi akan ditambahkan [pelatihan], misalkan, training pengindraan jauh atau remote sensing,” tuturnya.


Bayu Maulana