Komnas HAM Datang ke Wadas: Warga Minta Ganjar Pranowo Dialog di Wadas dan Cabut IPL Tambang

Jan 23, 2022 | 0 comments

Written by walhijogja

Hujan deras mengguyur Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, pada Kamis, 20 Januari 2022, ketika rombongan warga dengan mengendarai sepeda motor dan berjalan kaki bersusulan memasuki halaman Masjid Nurul Huda. Kabar bahwa rombongan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan datang ke Desa Wadas dan melakukan pertemuan dengan warga di masjid yang terletak di Dusun Krajan itulah yang melandasi warga berkumpul di sana sore itu. Kedatangan Komnas HAM dilatarbelakangi oleh pembahasan lanjutan atas penolakan warga terhadap proyek pertambangan batuan andesit di Wadas.

Sekitar pukul 16:53 WIB, iring-iringan mobil mulai memasuki halaman masjid. Gemuruh suara knalpot dari belasan sepeda motor warga saling bersahutan di belakang iring-iringan mobil. Empat di antara mobil itu mengangkut rombongan dari Komnas HAM; satu mobil lain mengangkut seorang pendamping hukum warga Wadas yang menolak proyek pertambangan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan seorang warga, yang keduanya menjemput rombongan Komnas HAM di pintu masuk desa.

Sejumlah warga yang berada di halaman masjid secara bersusulan memadati serambi masjid. Beberapa di antaranya juga harus rela berdiri di tangga serambi dan halaman masjid karena tidak mendapat tempat. Tak lama berselang, Yatimah, selaku perwakilan warga, membuka acara dengan memanjatkan doa dan meminta para hadirin untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya yang disusul dengan lagu Mars Wadas.

Acara dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Bahruddin, selaku warga Wadas. Dalam sambutan itu, ia menyampaikan, “Walaupun hujan, dengan semangatnya, warga tetap bisa hadir, meski tidak semuanya. Mengapa menolak [rencana proyek pertambangan batuan andesit], tidak lain untuk melestarikan dan menghidupi alamnya.”

Selepas sambutan, Beka Ulung Hapsara, selaku Koordinator Subkomisi Hak Asasi Manusia Komnas HAM, menyambung pembicaraan Bahruddin. Ia menyampaikan, rombongan Komnas HAM itu datang dari Semarang, Jawa Tengah setelah menghadiri dialog antara Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWS-SO), dan warga yang mendukung proyek pertambangan batuan andesit di Wadas. Kedatangan Komnas HAM ke Desa Wadas untuk mendengarkan alasan warga Wadas yang menolak tambang karena tidak memenuhi undangan dialog pembahasan dan penanganan dampak pembangunan Bendungan Bener yang berlangsung di Guntur Ballroom, Convention hall, Hotel Grasia, Semarang.

Beberapa hari sebelumnya, Beka telah menghubungi salah satu warga Wadas dan LBH Yogyakarta untuk mengundang mereka dalam agenda dialog di Semarang. Ia menuturkan, dialog itu terselenggara karena dirinya mendapatkan pesan WhatsApp (WA) dari Ganjar Pranowo yang meminta Komnas HAM untuk memfasilitasi dialog dengan warga Wadas terkait penolakkan warga atas proyek pertambangan batuan andesit di desa ini. Ia melanjutkan, Komnas HAM-lah yang menentukan peserta yang terlibat, waktu, dan lokasi dialog tersebut.

“Saya dapat WA dari Gubernur yang meminta tolong kepada Komnas untuk memfasilitasi dialog antara Pemprov, BBWS, dengan warga. Sebagai salah satu rekomendasi tindak lanjut permintaan Komnas untuk dialog. Jadi, yang menentukan siapa yang datang itu siapa saja itu dari kami semua”, kata Beka.

Beka juga menyampaikan, alasan pembatasan warga yang menolak maupun mendukung proyek pertambangan di Wadas dalam dialog hanya berjumlah 7 orang (termasuk pendamping hukum), semata-mata didasarkan untuk membatasi penyebaran pandemi Covid-19.

Sementara, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyampaikan bahwa posisi Komnas HAM dalam silang persoalan di Wadas ialah sebagai penengah antara warga yang menolak proyek pertambangan batuan andesit dan warga yang mendukung pertambangan, pemrakarsa proyek dan pemerintah terkait. Komnas HAM, ia melanjutkan, punya wewenang untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dengan tujuan menganalisa bentuk-bentuk pelanggaran HAM dalam konflik pertambangan batuan andesit itu. Komnas HAM juga memiliki kewenangan untuk memanggil pihak yang terlibat dalam konflik, baik warga maupun pejabat terkait.

Namun, Ahmad melanjutkan, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara maupun memberi sanksi kepada pihak tertentu. Kewenangan untuk memutuskan hal tersebut sepenuhnya ada di tangan pemerintah. “Keterbatasannya ialah Komnas HAM tidak punya wewenang untuk eksekusi. Yang bisa memutuskan itu pemerintah. Kalo pun bantah itu pemerintah, itu tidak ada konsekuensi hukumnya”, kata Ahmad.

Karena itu, menurutnya, yang memungkinkan untuk dilakukan oleh Komnas HAM ialah melakukan mediasi di antara pihak-pihak yang berada dalam pusaran konflik itu. “Biasanya Komnas memilih jalan kedua: jalan mediasi”, kata Ahmad.

Yatimah, warga Wadas, menanggapi pernyataan di atas. Ia menyampaikan, warga tidak menolak undangan dialogi di Semarang. Warga akan memenuhi undangan tersebut apabila enam poin yang disampaikan dalam surat balasan warga kepada Komnas HAM dapat dipenuhi. Berikut enam poin yang dilayangkan warga kepada Komnas HAM sebagaimana dikutip dari Surat Balasan atas Surat Komnas HAM Nomor 039/SPL-PMT/I/2022, yang bertanggal 19 Januari 2022:

  1. “Sebelum adanya pertemuan antar para pihak, Komnas HAM harus memastikan terlebih dahulu bahwa tidak akan ada aktivitas pengadaan tanah di Desa Wadas. Sebab beberapa waktu terakhir, warga terus mendapatkan teror dan ancaman dari pihak kepolisian yang rencananya akan mengawal proses pengukuran tanah di Desa Wadas.
  2. Selama proses pertemuan antara pihak dan sebelum adanya kesepakatan atas tuntutan warga Wadas untuk penyelesaian konflik di Wadas, maka para pihak harus menghentikan aktivitas pengadaan tanah terkait rencana pertambangan untuk pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas. Karena beberapa hari belakangan, Kami masih mendengar kabar akan ada rencana pengukuran dengan dikawal oleh banyak aparat keamanan.
  3. Kami merasa keberatan dengan pembatasan jumlah warga yang terlibat (maksimal 7 orang, sudah termasuk 2 orang pendamping) dalam pertemuan tersebut di atas. Sejauh ini, seluruh warga Wadas menolak rencana pertambangan di Desa Wadas. Sehingga sudah sepatutnya seluruh warga Wadas dapat terlibat dalam pertemuan tersebut di atas.
  4. Kami meminta agar pertemuan dapat dilakukan di Desa Wadas dengan tanpa dikawal oleh aparat kepolisian dalam jumlah besar. Sebab, jika pertemuan dilaksanakan di Guntur Ballroom, Convention hall, Hotel Grasia, Semarang, maka pertemuan ini tidak dapat diikuti oleh seluruh warga Wadas. Sehingga berdampak pada proses penyelesaian konflik yang tidak maksimal karena suara warga Wadas tidak dapat seluruhnya terakomodir.
  5. Kami meminta agar pertemuan dilakukan secara terbuka agar dapat diakses oleh publik secara luas, baik secara luring maupun daring. Sehingga publik juga dapat mengetahui dan membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi warga Wadas dalam memperjuangkan keutuhan dan kelangsungan ruang hidupnya.
  6. Kami meminta agar pertemuan tersebut fokus membicarakan tuntutan warga Wadas, yakni menghentikan rencana pertambangan di Wadas dan mengeluarkan Wadas dari Izin Penetapan Lokasi Pembangunan Bendungan Bener. Sebab tidak ada solusi lain untuk menyelesaikan konflik di Wadas selain menghentikan rencana pertambangan di Wadas dan mengeluarkan Wadas dari Izin Penetapan Lokasi Bendungan Bener. Kami tidak menolak pembangunan Bendungan Bener. Kami hanya berkeberatan apabila pertambangan Batu Andesit untuk memasok material pembangunan Bendungan Bener dilakukan di Desa Wadas.”

Sementara itu, Budin, warga Wadas, menyampaikan bahwa dialog seharusnya dilaksanakan di Desa Wadas, bukan di Semarang. Karena, menurutnya, semua warga yang menolak proyek pertambangan memiliki hak untuk terlibat secara langsung dalam dialog. Di samping itu, ia juga menyampaikan bahwa dialog bersama Ganjar Pranowo dan pihak pemrakarsa nantinya tidak lagi berpusar pada alasan-alasan mengapa warga menolak adanya proyek pertambangan, melainkan fokus pada pencabutan Izin Penetapan Lokasi (IPL) proyek pertambangan. “Warga meminta Ganjar bedialog di Wadas. Warga maunya poin pembahasan itu cabut IPL”, tuturnya.

Menurut Yatimah, mengapa fokus perbincangan dalam dialog dengan Ganjar Pranowo ialah cabut IPL proyek pertambangan, karena selama ini warga telah menempuh sejumlah proses dalam rangka menyampaikan alasan mengapa mereka menolak pertambangan di desanya. Proses-proses yang telah ditempuh warga ialah melakukan audiensi ke Badan Pertanahan Nasional Purworejo, BBWS-SO, Kantor Gubernur Jawa Tengah (meskipun Ganjar Pranowo tidak menemui Warga), hingga mengajukan gugatan kepada Ganjar Pranowo atas pembaharuan IPL di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Pembatalan izin pertambangan di Wadas, lanjutnya, sebagai bentuk perjuangan untuk menjaga keberlangsungan ruang hidup di Wadas.

“Audiensi yang dilakukan oleh warga itu sudah berkali-kali. Jadi yang kita mau sekarang adalah batalkan pertambangan di Wadas. Kami berjuang untuk mejaga ruang hidup dan anak cucu kita”, kata Yatimah.

Sementara itu Sofi, warga Wadas, menambahkan bahwa warga yang mendukung proyek pertambangan tidak perlu dihadirkan dalam dialog. Menurutnya, terbelahnya warga ke dalam dua pihak tersebut dipicu oleh proyek pertambangan melalui izin yang diterbitkan oleh pemerintah. Karena itu, pihak yang terlibat dalam dialog ialah warga yang menolak dengan pemerintah itu sendiri. “Kami tidak mau dialog kalau ada warga pro [proyek pertambangan batuan andesit], karena urusan kami dengan pemerintah”, kata Sofi.

Insin, warga Wadas, menambahkan, dengan melibatkan warga yang mendukung proyek pertambangan dalam dialog akan berpotensi meruncingkan perpecahan di antara warga Wadas. “Kalo kita dihadapkan dengan yang pro, berarti itu politik pecah belah”, kata Insin.  

Ahmad, menyetujui penambahan poin ketujuh dari enam poin yang menjadi syarat dari warga untuk melakukan dialog dengan Ganjar Pranowo, yakni dialog berlangsung di Wadas dan melibatkan semua warga yang menolak proyek pertambangan dengan difasilitasi oleh Komnas HAM.

“Yang bisa kami lakukan besok pagi adalah berusaha meyakinkan Pak Ganjar, selaku Gubernur, dan jajarannya untuk datang ke Desa Wadas untuk melakukan mediasi”, kata Ahmad.

Sementara itu, Beka juga akan menyampaikan kepada Ganjar Pranowo tentang permintaan bahwa warga yang mendukung proyek pertambangan di Wadas tidak dilibatkan dalam dialog. “Nanti saya sampaikan kekarepe [kemauan] jenengan [anda] tidak mau bareng dengan warga pro, Pak Ganjar yang ke sini. Nanti kami sampaikan”, kata Beka.

Selama proses dialog dengan Ganjar Pranowo, Beka melanjutkan, Komnas HAM akan menjamin tidak ada aktivitas pengukuran lahan di Wadas. “Poin yang pertama dan kedua [dalam surat balasan Warga kepada Komnas HAM] kekhawatiran BBWS mau melakukan pengukuran, saya meminta kepada staf saya untuk tidak melakukan pengukuran. Saya minta BBWS untuk tidak melakukan apapun”, kata Beka.

Setelah menuai kesepakatan di atas, acara itu kemudian ditutup dengan pembacaan doa. Suara adzan Magrib berkumandang menyusul selesainya pertemuan tersebut. Para warga secara berangsur meninggalkan serambi masjid. Beberapa di antaranya bersiap melaksanakan sholat Magrib berjamaah. Di tengah hujan yang tidak kunjung reda, beberapa warga yang lain secara bersusulan dengan mengendarai sepeda motor maupun berjalan kaki di bawah payung perlahan meninggalkan halaman masjid.


Bayu Maulana