Pencemaran Mengikis Hubungan Warga Siraman dengan Sungai Pancuran

Sep 6, 2022 | 0 comments

Written by walhijogja

Cerita ini bermula ketika banjir melanda Desa Siraman, Wonosari, Gunungkidul, pada tahun 2017. Banjir itu berasal dari luapan Sungai Pancuran yang menyapu puluhan pemukiman warga di desa tersebut. Luapan air berwarna kecoklatan menyapu pelataran rumah, menenggelamkan perabotan, serta menggiring warga ke tempat pengungsian selama beberapa hari. Tidak ada yang menduga bencana banjir itu akan datang.

“Tapi memang kalau 2017 itu banjirnya lebih, karena seluruh Kabupaten Gunungkidul itu memang terdampak”, Tri Mulatsih, Sekretaris Desa Siraman.

Foto banjir di Desa Siraman pada tahun 2017. (Dokumentasi FOKASSI/Forum Komunikasi Sungai Siraman)

Tri Mulatsih menceritakan, kondisi Sungai yang kian hari kian memburuk menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir. Gumpalan sampah bercampur dengan ranting pepohonan menghiasi aliran Sungai Pancuran selama beberapa dekade terakhir

Perlu diketahui, menurut Eko, Dinas Lingkungan Hidup Gunungkidul, aliran sungai besar di Gunungkidul ialah Sungai Oya yang berhulu di Wonogiri, Jawa Tengah, dan membentang membelah sejumlah kota di Provinsi Yogyakarta. Sementara Sungai Pancuran merupakan salah satu sungai drainase yang ada di kabupaten ini.

“Sungai Siraman [Pancuran] itu kalau secara teknis sebenarnya sungai drainase, bukan sungai alam, karena ketika kemarau itu tidak ada air yang mengalir,” tutur Eko.

Kondisi Sungai Pancuran yang kian hari kian memburuk bukan hanya memicu terjadinya bencana. Pencemaran yang makin menampilkan wajahnya menyingkap berbagai persoalan yang menyelimuti kehidupan warga di sekitarnya. Kondisi pencemaran itu memantik keprihatinan di benak Tri Mulatsih.

“Kondisi sungai di Siraman itu sekarang benar-benar sangat memprihatinkan. Karena memang dilihat dari kualitas airnya itu jauh”, lanjut Tri Mulatsih.

Tak sulit menemukan sampah dan ranting pohon tersangkut di pilar-pilar jembatan atau di akar pepohonan yang menjorok ke badan sungai. Endapan lumpur dan sampah menjadi pemicu pendangkalan Sungai Pancuran.

Gumpalan sampah dan ranting pepohonan tersangkut pada badan jembatan Sungai Pancuran. (Dokumentasi FOKASSI).

Kondisi itu mengembalikan memori masa lalu tentang melekatnya kehidupan warga dengan Sungai Pancuran.

Ketika masa kecil, kenang Tri Mulatsih, dirinya banyak menghabiskan waktu dengan bermain dan berenang di Sungai Pancuran. Ia menuturkan, banyak di antara warga pada masa itu melakukan aktivitas di sungai, seperti mencuci pakaian dan memandikan ternaknya.

Cerita serupa tentang lekatnya hubungan warga dengan sungai diungkapkan oleh Maryadi, warga Desa Siraman. Sungai Pancuran, tuturnya, menjadi penopang utama pasokan air bagi warga di Dukuh Winongseneng, Desa Siraman.

“Itu adalah sarana pokok untuk kebutuhan warga masyarakat”, kata Maryadi.

Ia melanjutkan, sekira tahun 80-an, warga memanfaatkan sungai sebagai sarana olahraga, seperti polo air, susur sungai, dan memancing—meskipun aktivitas memancing masih tetap dilakukan hingga saat ini, meskipun jumlahnya semakin berkurang.

Warga Siraman sedang melakukan susur sungai pada sekira tahun 1980-an. (Dokumentasi Maryadi)

Yang tersisa di benak Tri Mulatsih dan Maryadi tentang lekatnya kehidupan warga dengan sungai hanya tinggal kenangan. Sungai Pancuran telah tercemar. Gumpalan sampah menjadi pemandangan yang menghiasi aliran Sungai Pancuran. Selain itu, tercemarnya Sungai Pancuran juga dipicu oleh limbah industri dan rumah tangga.

Maryadi menceritakan, limbah dari sejumlah pabrik tahu dan tempe, limbah rumah tangga, serta peternakan ayam dibuang begitu saja ke dalam sungai. Cerita yang sama juga diungkapkan oleh Sukardi, Ketua Program Kali Bersih Desa Siraman.

Sukardi mengungkapkan, “jadi kalau kita berbicara pencemaran, memang di sini itu ada beberapa titik produksi tempe. Terus untuk yang betul-betul dirasakan oleh masyarakat itu ada produksi tahu di atas sana, yang merupakan salah satu hulu Sungai Pancuran.”

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, sebetulnya sejumlah industri tersebut telah menyediakan bak-bak besar penampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas industri di atas. “Namun,” baginya, “karena dulu produksinya itu hanya mungkin 2-3 kwintal, sekarang kan ton-ton-an sehingga overload.”

Salah satu sistem pembuangan limbah industri tersebut dialirkan melalui pipa yang berujung ke sungai. Menurut Sukardi, mulut pipa tersebut mengeluarkan cairan berwarna putih yang di waktu-waktu tertentu disertai dengan buih tebal.

Mulut pipa pembuangan limbah industri tahu/tempe ke Sungai Pancuran. (Dokumentasi FOKASSI)

Warna sungai pun berubah seiring dengan kontaminasi beragam cairan kimia yang dibuang begitu saja ke dalamnya. Bahkan, turur Subandono, warga Desa Siraman, saat ini air Sungai Pancuran juga dapat memicu kulit menjadi gatal-gatal. Itu yang membuat banyak warga Siraman enggan menggunakan sungai untuk mandi maupun mencuci pakaian.

Tidak hanya menyasar kehidupan warga sekitar. Pencemaran sungai juga telah memicu hilangnya keanekragaman ekosistem di dalamnya. Banyak ragam jenis ikan yang berkembang biak di sungai tersebut kian hari kian menghilang.

“Tapi begitu terkena limbah, ikan dan sebagainya itu tidak ada yang akhirnya berkembang biaknya susah”, tutur Subandono.

Lebih dari satu dekade terakhir, Sungai Pancuran sepi dari aktivitas warga. Beragam jenis ikan yang memikat para pemancing menghabiskan waktu berjam-jam di tepi sungai kini semakin hari semakin hilang.

Bersamaan dengan itu, kenang sejumlah warga, ramai orang mencuci pakaian di tepi sungai, gelak tawa anak-anak secara bergantian menceburkan diri ke dalam sungai sudah menjadi pemandangan yang sulit dijumpai. Kesibukan orang mendayung di atas perahu menyusuri sungai, sebagaimana yang diungkapkan oleh Maryadi, hanya tinggal cerita. Kini, Sungai Pancuran telah sunyi dari kehidupan.

Pencemaran itu telah mengikis kualitas air, keragaman ekosistem, serta kehidupan sosial yang sebelumnya menjadi bagian yang berkelindan dengan bentang Sungai Pancuran.

Endang, pegiat sungai, menuturkan bahwa aktivitas sosial akan berpengaruh terhadap kondisi sungai, begitu pula sebaliknya. Menurunnya kualitas sungai akan melahirkan dampak terhadap kehidupan sosial.

“Air adalah sumber kehidupan. Jadi kalau kita bicara kehidupan, dan kita sebagai manusia itu tidak bisa lepas dengan air”, tutur Endang.

Endang melanjutkan, kualitas sungai dapat menjadi indikator bagi kualitas air yang dikonsumsi oleh warga, khususnya mereka yang hidup berdampingan dengan sungai. Bila sungai tercemar, air yang dikonsumsi akan sangat mungkin memiliki kualitas yang serupa dengan kondisi sungainya. Karena itu, Endang memandang bahwa menjaga sungai menjadi aktivitas yang wajib untuk dilakukan.

“Jadi kenapa kita warga bantaran sungai itu wajib hukumnya untuk menjaga sungai, karena sungai itu lah sumber kehidupan kita, untuk keberlangsungan anak cucu kita ke depan”, tutur Endang.

Endang juga menyampaikan, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga dan memulihkan kondisi sungai ialah dengan meletakan sungai sebagai halaman depan rumah, bukan sebaliknya. Sebab, meletakan sungai sebagai halaman belakang rumah memungkinkan untuk melihat sungai sebagai tempat pembuangan, bukan sebagai ekosistem yang memiliki peran bagi kehidupan manusia maupun lingkungan di sekitarnya.

Mengembalikan cara pandang dan perilaku yang merawat sungai mesti segera dilakukan. Sebagaimana konsep sungai sebagai halaman depan, sungai mesti dilihat bukan lagi sebagai tempat pembuangan. Menempatkan sungai sebagai tempat pembuangan limbah industri maupun rumah tangga, yang selama ini menjadi penyebab tercemarnya sungai, mesti segera dihentikan.

Sungai dan kehidupan sosial menjadi bagian yang melekat. Rusaknya kondisi sungai dapat menjadi ancaman tehadap kehidupan. Merawat dan menjaga sungai sama halnya dengan merawat kehidupan itu sendiri.


Bayu Maulana